Senin, 19 Februari 2018

Rangkuman Buku Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman

BAB I
BERKENALAN DENGAN FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU

A.    Definisi Filsafat
Secara etimologis kata filsafat merupakan padanan dari falsafah (Arab) dan philosophy (Inggris). Sedangkan kata falsafah sendiri berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia berarti cinta pada kebijaksanaan. Para pemikir Muslim sebelum mengenal kata filsafat, mereka menggunakan kata hikamah (kebijaksanaan). Istilah philosophia pertama kali digunakan filsuf Yunani Kuno, Pythagoras (582-496 SM). Selanjutnya istilah philosophia menjadi populer di masa Socrates (470-399 SM), Plato (428-348 SM), dan Aristoteles.
Definisi filsafat berbeda-beda, sangat bergantung pada perspektif dan latar belakang filsuf masing-masing. Plato mengatakan bahwa filsafat merupakan pencarian yang bersifat spekulatif tentang seluruh kebenaran. Aristoteles membedakan pengertian Sophia dan philosophia. Menurutnya Sophia merupakan kebaikan intelektual yang tertinggi. Sedangkan philosophia merupakan padanan dari kata episteme yang berarti kumpulan dari pengetahuan rasional mengenai segala objek. Aliran filsafat Yunani-Romawi yakni Stoic (Stoicsm) mendefinisikan filsafat sebagai suatu sistem etika untuk mencapai kebahagiaan dalam diri masing-masing orang dengan mengusahakan keselarasan manusia dan alam semesta. Seorang filsuf Stoic, Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) menyebut filsafat sebagai ibu dari segala pengetahuan. Fuad Hasan (1929-2007) mendefinisakan filsafat sebagai ikhtiar untuk berpikir radikal. 
B.     Objek Filsafat
Menurut Louis Kattsoff, bidang telaah filsafat meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia. Rene Descartes mengatakan filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya mengenai Tuhan, alam, dan manusia. Objek filsafat dibagi menjadi dua, yakni objek material dan objek forma. Objek materia meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam, hakikat manusia. Sedangkan objek forma adalah usaha mencari keterangan yang radikal tentang objek material.
C.    Berfikir Filsafati
Menurut Jan Hendrik Raper, ada empat hal yang merangsang manusia untuk berfilsafat, yaitu ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan.

D.    Karakteri Berpikir Filsafati
Karakteristik berpikir filsafati yaitu, menyeluruh (universal), mendasar (radikal), permenungan (spekulatif).
E.     Filsafat sebagai Pioner
Filsafat bukan termasuk pengetahuan yang bersifat memerinci. Filsafat selalu menyerahkan wilayah pemikiran yang telah dijelajahinya pada ilmu. Perkembangan ilmu selalu dihubungkan dengan filsafat. Menurut Plato filsafat adalah induk ilmu pengetahuan. Ilmu merupakan jenis pengetahuan yang bersifat metodis, sistematis, dan koheren tentang bidang tertentu dari kenyataan. Sedangkan filsafat adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan.
F.     Cabang Filsafat
Aristoteles membagi cabang filsafat menjadi tiga bidang, yaitu ; praktis, produktif, dan teoretis. Filsafat teoretis dibagi lagi menjadi tiga; matematika, fisika, dan filsafat pertama.
Will Durant menyebut lima cabang dalam filsafat, meliputi; logika, estetika, etika, politik, metafisika. Seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu khusus maka cabang filsafat saat ini menjadi kian banyak, meliputi; epistemology, etika, estetika, politik, logika, filsafat agama, filsafat ketuhanan, filsafat pendidkan, filsafathukum, filsafat sejarah, filsafat matematika, filsafat budaya, filsafat manusia, filsafat bahasa, filsafat ilmu.
G.    Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu. Filsafat ilmu dibagai menjadi filsafat ilmu alam dan filsafat ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah.
Filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu, baik ditinjau dari sudut ontologism, epistemologis, maupun aksiologis, yang dilakukan secara mendalam, sistematis dan spekulatif. Semua pengetahuan pada dasarnya dapat ditelaah dalam tiga sudut pandang ontologism, epistemologis, dan aksiologis.
Tujuan filsafat ilmu yaitu; pertama memperdalam unsur-unsur pokok ilmu sehingga secara menyeluruh dapat dipahami sumber, hakikat dan tujuan dari ilmu. Kedua, memahami sejarah perkembangan serta kemajuan ilmu di berbagai bidang sehingga diperoleh gambaran mengenai proses penemuan ilmu sejak zaman Yunani kuno hingga postmodernisme. Ketiga, mempertegas sikap bahwa antara ilmu dan agama sesungguhnya tidak ada pertentangan.
BAB II
SEJARAH FILSAFAT


A.    Tentang Sejarah Filsafat
Sejarah filsifat adalah bidang ilmu yang mengkaji perkembangan filsafat dari masa ke masa, tentang system-sistem filsafat, serta penafsiran secara kritis hasil pemikiran para filsuf terhadap persoalan-persoalan filsafati. Objek utama sejarah filsafat sebagai sebuah ilmu yaitu hasil akal budi yang berupa pikiran, gagasan filosofis, serta isi dan pengaruhnya dikemudian hari. Sedangkan tujuan mempelajari sejarah filsafat ialah menguraikan asal-usul dan perkembangan berbagai gagasan filsuf.
Hamersma membagi sejarah filsafat dalam tiga tradisi besar, yakni India, China, dan Barat. Hamersma memasukan filsafat Yunani, filsafat Hellenistik, filsafat Kristiani, filsafat Islam, filsafat zaman renaisans, filsafat modern, dan filsafat kontemporer, dalam kategori filsafat Barat. Sejarah peradaban barat yang hebat berkesinambungan dengan sejarah filsafat Islam. Dunia Islam telah menyelamatkan khazanah pemikiran dari Yunani dengan cara menerjemahkan karya-karya Yunani dalam bahasa Arab.
B.     Sejarah Filsafat India
Filsafat India berpangkal pada keyakinan bahwa ada kesatuan fundamental antara manusia dan alam serta harmoni antara individu dan kosmos. Dalam pandangan filsafat India, dunia dengan seluruh isinya tidak untuk dikuasai, melainkan untuk diajak berteman. Harry Hamersma membagi filsafat India dalam lima periode, yakni;
1.      Zaman Weda (2000-600 SM). Kata weda merujuk pada kitab suci bangsa Aryan yang masuk India sekitar 1500 SM. Kitab Weda terdiri atas Samitha, Brahmana, Aranyaka, dan Upanishad.
2.      Zaman Skeptisisme (600 SM-300 M). Zaman ini ditandai dengan reaksi para imam atau rahib. Budhisme merupakan agama asli orang India. Melalui Siddharta Gautama filsafat India diajarkan dalam bentuk yang lebih praktis untuk mencapai keselamatan. Pasca Budhisme muncul Hinduisme yang mengajarkan jalan untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan.
3.      Zaman Puranis (300-1200). Zaman ini ditandai dengan lenyapnya Buddhaisme dari India. Cerita inkarnasi dewa-dewa terekam dalam dua epos besar warisan india, yakni; Mahabharata dan Ramayana.
4.      Zaman Muslim (1200-1757). Usaha muslim menundukan India dimulai pada zaman Utsman bin Affan, Dinasti Umayyah, hingga munculnya Dinasti Mughal. Tokoh Dinasti Mughal, Sultan Akbar mencoba menggabungkan ajaran berbagai agama yang disebut dengan Din Ilahi.
5.      Zaman Modern (Pasca 1757). Zaman modern ditandai dengan berkembangnya nilai-nilai klasik India. Beberapa tokoh populer di zaman ini adalah, Ram Mohan Roy, Vivekananda, Mahatma Gandhi dan Rabindranath Tagore.
C.    Sejarah Filsafat China
Ajaran filsafat China lebih bercorak antroposentris (perikemanusiaan). Filsafat China mengajarkan bahwa manusia dapat menentukan nasibnya sendiri. Periodesasi filsafat China dibagi menjadi empat, yakni;
1.      Zaman Klasik (600-200 SM). Periode ini ditandai dengan munculnya beberapa sekolah dan aliran filsafat. Diantara sekolah yang terpenting adalah konfunianisme, Taoisme, Yin-Yang, Ming Chia, dan Fa Chia.
2.      Zaman Neo Taoisme dan Buddhisme (200 SM-1000). Konsep Tao memperoleh makna baru seiring dengan perkembangan Buddhisme di China. Pada periode ini berkembang ajaran meditasi.
3.      Zaman Neo Konfusianisme (1000-1900). Nilai-nilai berpikir masyarakat China yang mengajarkan kepentingan dunia, hidup berkeluarga, dan kemakmuran material, tampak sekali di abaikan dalam Buddhisme. Dampaknya, alam pikiran China kembali pada ajaran konfusius.
4.      Zaman Modern (Pasca 1900)
Sejarah modern China dimulai pada tahun 1900. Pada awal abad XX filsafat barat menunjukkan pengaruh yang sangat besar di China aliran filsafat barat yang populer di China adalah pragmatism.
Setidaknya ada tiga tema yang selalu diwacanakan dalam filsafat Cina yaitu harmoni, toleransi, dan kemanusiaan. Dalam perspektif filsafat Cina manusia yang baik harus selalu mencari kebahagiaan dengan mengembangkan dirinya sendiri melalui interaksi dengan alam dan sesame.
D.    Sejarah Filsafat Barat
Sejarah filsafat barat sangat ditentukan oleh perkembangan peradaban dan kebudayaannya. Hal itu berarti peradaban dan kebudayaan dalam bentuk ilmu pengetahuan teknologi manajemen informasi dan komunikasi sangat mempengaruhi perkembangan sejarah filsafat barat.
Secara umum sejarah filsafat barat dibagi menjadi empat periode, yaitu;
1.      Zaman Yunani Kuno (600 SM- 400 M). Pembahasan filsafat Yunani kuno dapat dibagi menjadi tiga berdasar corak pembahasannya pertama membahas filsafat alam pada masa pra socrates yakni ketika logos menggantikan mitos kurun waktunya kira-kira 750-500 SM. Kedua membahas filsafat manusia yang di mulai masa socrates hingga Aristoteles kira-kira tahun 500-323 SM. Ketiga membahas aliran hellenik yang berkembang ketika filsafat Yunani mulai memudar seiring mangkatnya Aristoteles periodenya kira-kira mulai 323 SM 529 Masehi.
2.      Zaman Patristik dan Skolastik (200 SM-1000). Sejarah filsafat barat zaman patristik dan skolastik ini juga dinamakan abad pertengahan. Corak filsafat zaman ini dikuasai pemikiran gereja. Zaman patristik dibagi menjadi dua, yakni patristik Yunani dan patristik latin. Zaman skolastik ditandai dengan diajarkannya filsafat di sekolah atau universitas. Pada periode ini filsafat diajarkan di sekolah-sekolah biara dan universitas. Perintis skolastisisme adalah Santo Agustinus dan filsuf terbesar pada masa skolastik adalah Thomas Aquinas. Tema pokok yang diajarkan filsuf zaman skolastik adalah hubungan iman dan akal budi, hakikat Tuhan, antropologi, etika dan politik. Filsafat zaman skolastik telah memulai wacana mengenai adanya dua sumber kebenaran yakni akal dan iman atau filsafat dan agama.
3.      Zaman Modern adalah zaman dimana terjadinya Renaissance. Dimanakan  jaman  Renaissance  (kelahiran  kembali.),  karena  kala  itu kebudayaan  klasik  Yunani  dan  Romawi  dihidupkan  kembali.  Kesusateraan, seni, dan filsafat mencari inspirasi dari dan warisan Yunani-Romawi. Pembaharuan  terpenting  pada  renesanse  adalah ‘antroposentrisme’nya.  Pusat  pemikiran  tidak  lagi  kosmos,  seperti  pada jaman  Yunani  kuno,  atau  Tuhan,  seperti  dalam  Abad  Pertengahan  Eropa, melainkan  manusia.  MuIai  saat  itu  manusialah  yang  dianggap  sebagai  titik fokus kenyataan.
Pada zaman modern ini dibagi juga menjadi zaman Barok yaitu perhatian  pada  kemampuan  akal  Iebih  ditekankan.  Sebagian  besar filsufnya  adalah  matematikus,  yang  menggunakan  matematika  sebagai dasar filsafatnya. Diharapkan hasilnya juga pasti.Tokohnya: Rene  Descartes  (1596-1650),  filsuf  Perancis:  ‘Bapak  Filsafat  Modern’. ‘cogito ergo sum’  hasil dari metodenya: skeptis-metodis. Kemudian ada Baruh Spinoza (1632-1677), filsuf Belanda, dengan faham Panteistik.
Kemudian George Leibniz (1646-1710).  Kemudia zaman aman Pencerahan Lazim pula dinamai Aufklarung (Jerman), Enlightenment (Inggris),  atau jaman  Fajar  Budi.  Dinamakan  demikian  karna  setelah  semakin  rasional, manusia kini sudah jadi dewasa dan tercerahkan. Ditandai  oleh  I.  Kant  (Jerman)  dengan  semboyan  ‘Shapire  Aide!’ (beranilah  berpikir).  Dia  juga  yang  menciptakan  sintesa  dari  rasionalisme dan empinisme, dan dianggap filsuf terpenting jaman modern. Tokoh-tokohnya  di  lnggris  umumnya  empirisme,  seperti  J.  Lock  (1632-1704),  G.  Berkeley  (1684-1753),  D.  Flume  (1711-1776),  dan  di  Prancis    JJ. Rousseau (1712-1778). Kemudia Zaman Romantik. Filsuf  besar  jaman  ini  terutama  berasal  dari  Jerman,  yaitu  J.  Fichte (1762-  1814),  F.  Schelling  (1775-1854),  dan  G.Hegel  (1770-1831). Alirannya  disebut  Idealisme.  Inti  fahamnya:  yang  penting  adalah  ide-ide, bukan  dunia  materi  sebagaimana  faham  materialisme. Tokoh  terpenting adalah F. Hegel.
4.      Zaman kontemporer. Jika  abad  17  dan  18  Filsafat  Barat  didominir  3  aliran  besar:  rasionalisme, empirisme,  dan  idealisme,  maka  pada  abad  19  dan  20  ini  aliran-aliran  baru bermunculan. Beberapa aliran tersebut antara lain sebagai berikut.
Positivisme Tokohnya  August  Comte.  Menurutnya  pemikiran  manusia,  pemikiran
dalam  ilmu,  dan  pemikiran suku bangsa manusia  itu melewati 3 tahap: teologis,
metafisi, positif-ilmiah.
E.     Sejarah Filsafat Islam
Secara historis, tarik-menarik kepentingan bahwa filsafat itu murni atau tidak murni dari Islam adalah fakta yang tak bisa dihindari. Saling mengklaim antar ilmuwan Barat dan Islam menjadi lembaran panjang dalam perjalanan filsafat, misalnya Oliver Leaman yang berpendapat bahwa “filsafat Yunani sebenarnya pertama kali diperkenalkan kepada dunia lewat karya-karya terjemahan berbahasa Arab, lalu kedalam bahasa Yahudi, dan baru kemudian kedalam bahasa Latin atau langsung dari bahasa Arab ke bahasa Latin”. Berbeda dengan Al-Farabi yang berpendapat bahwa “filsafat berasal dari Irak terus Mesir dan ke Yunani, kemudian diteruskan ke Syiria dan sampai ketangan orang-orang Arab.
Namun pada dasarnya, sebagian kalangan menganggap bahwa awalnya filsafat berkembang di Yunani dengan 3 tokoh yang sangat terkenal yaitu: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Yang mana ditangan mereka filsafat tidak hanya membicarakan kosmosentris (pemikiran yang terpusat pada alam) namun pengetahuan tentang keyakinan agama dan ke-Tuhanan mulai dibicarakan.
Sesudah abad ke-3 SM (sesudah masa Plato dan Aristoteles) tidak muncul pemikiran yang benar-benar baru dalam filsafat Yunani sampai akhirnya tampil kaum Neo Platonis kurun abad ke-3 M. Jika membuka ulang sejarah peradaban dunia, masa setelah Aristoteles adalah masa kejayaan Alexander Agung (Raja Iskandar Zulkarnain), kaisar Romawi yang pernah menjadi murid Aristoteles. Alexander menaklukan Asia kecil, Syiria, Mesir, Babilonia, Persia, Samarkand, dan Punjab. Tiap kali berhasil memenangkan ekspansi militer, Alexander mendirikan kota-kota yang bercita rasa Yunani. Namun ketika kekuasaannya semakin meluas, Alexander terpaksa menganjurkan pembaruan antara budaya Yunani dan budaya bangsa jajahan. Inilah Hellenisme, yaitu suatu peristiwa menyatunya kebudayaan Yunani disegala bangsa jajahan Romawi.
Setelah Alexander meninggal, kerajaannya yang besar itu terbagi tiga: Macedonia di eropa, kerajaan Ptolemeus di mesir, dan kerajaan Seleucid di asia. Petolemeus dan seleucus berusaha meneruskan politk alexander untuk menyatukan peradaban yunani dan iran sungguh pun usaha itu  tak berhasil kebudayaan dan peradaban yunani meninggalkanbekas besar di daerah-daerah ini. Bahasa administrasi yang di pakai di sana ialah bahsa yunani. Di mesir dan syiria bahasa ini tetap di pakai sesudah mauknya islam kedalam dua daerah itu dan hanya baru ditukar dengan bahasa arab di abad ke 7 M oleh khalifah bani umayah A. malik Ibnu Marwan (685-705M), khalifahke 5 dari bani umayah. Alexanderia, Antiocah, dan Bactra kemudian menjadi pusat ilmu pengetahuan dan filsafat yunani.
Di abad ke 3 M pusat-pusat kebudyaan yunani ini di tambah dengan kota jundis hapur yang letaknya tidak jauh dari Baghdad (di dirikan pada tahu 762 M). disana sewaktu kota itu masuk kebawah kekuasaan Islam, telah terdapat suatu akademi dan rumah sakit.
Harun al-Rasyid menjadi khalifah ditahun 786 M, dan sebelumnya ia belajar di Persia dibawah asuhan Yahya ibnu Khalid ibnu Barmak dan dengan demikian banyak dipengaruhi oleh kegemaran keluarga barmak pada ilmu pengetahuan dan falsafat. Keluarga Barmak dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu penegtahuan serta falsafat dan condong pada paham Muktazilah. Dibawah pemerintahan Harun al_rasyid, penerjemahan buku-buku ilmu pengertahuan Yunani kedalam bahasa Arabpun dimulai. Pada mulanya yang dipentingkan ialah buku-buku mengenai kedikteran, tetapi kemudian juga mengenai ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan lain dan falsafat. Buku-buku itu diterjemahkan terlebih dahulu kedalam bahasa siria, bahasa ilmu pengetahuan di Mesopotamia di waktu itu, kemudian baru kedalam bahasa Arab. Akhirnya penerjemahan diadakan langsung kedalam bahasa Arab.
Dengan kegiatan penerjemahan inilah sebagian besar dari karangan-karangan Aristoteles, Plato, Galen, serta karangan-karangan mengenai neoplatonisme dan ilmu kedokteran dan juga karangan-karangan mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya dapatlah dibaca oleh alim ulama Islam. Karangan-karangan tentang filsafat banyak menarik perhatian kaum Muktazilah, sehingga banyak dipengaruhi oleh pemujaan daya akal yang terdapat dalam filsafat yunani. Abu al-Huzail al-Allaf, Ibrahim al-Nazzam, Bisr ibnu al-Mu’tamir dan lain-lain banyak membaca buku-buku falsafat. Dalam pembahasan mereka mengenai teologi islam, daya akal atau logika yang mereka jumpai dalam filsafat Yunani banyak mereka pakai. Tidak mengherankan kalau teologi kaum Muktazilah mempunyai corak rasional dan liberal.[2]
Tidak lama kemudian timbullah dikalangan umat islam sendiri filosof-filosof dan ahli-ahli ilmu pengetahuan, seperti:
a.       Al-Kindi (801-866).
b.      Al-Razi (864-926).
c.       Al-Farabi (870-950).
d.      Ibn Sina (980-1037).
e.       Ibn Maskawaih (W. 1030).
f.       Al-Ghazali (1058-1111).
g.      Ibn Bajjah (w. 1138).
h.      Ibn Tufail (1110-1185).
i.        Ibn Rasyd (1126-1198).
Dalam ilmu pengetahuan dikenal beberapa ahli seperti :
a.       Abu Abbas al-Syarkasyi pada abad ke 9 M dibidang kedokteran.
b.      Muhammad, Ahmad dan Hasan dibidang Matematika.
c.       Al-Asma (740-828 M) dibidang Ilmu alam.
d.      Jabir dibidang Kimia.
e.       Al-Biruni dibidang Astronomi, sejarah, geografi dan Matematika
f.       Ibnu Haitam dibidang Optika.
1.      HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM DENGAN FILSAFAT YUNANI
Mengkaji hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani dapat diakatakan “gampang-gampang susah”. Kesulitannya terletak  pada titik perbedaan yang nyata, yaitu doktrin keimanan. Kemudahannya dapat ditelusuri dari aspek sejarah kelahiran kedua ilmu tersebut.
a.      Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani: Kajian Historis
Dilihat dari aspek sejarah, kelahiran ilmu filsafat Islam dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskahilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik islam. Usaha ini melahirkan sejumlah filsuf besar muslim. Dunia Islam belahan timur yang berpusat di Bagdad, Irak lebih dahulu melahirkan filsuf muslim daripada dunia Islam belahan barat yang berpusat di Cordoba, Spanyol. Memperkuat pernyataan di atas, Ahmad Salabi dan Louis Ma’luf menguraikan bahwa swjarah kebudayaan Islam mencatat, ilmu filsafat tidak diketahui oleh orang-orang Islam, kecuali setelah masa daulah Abbasiah pertama (132-232 H/750-847 M). ilmu ini ditransfer kedunia Islam melalui penerjemahan dari buku-buku filsafat Yunani yang telah tersebar di daerah-daerah Laut Puith seperti ; Iskandariah, Anthakiah, dan Harran. Terlebih pada masa Al-makmun yang dikenal sangat tertarik pada kemerdekaan berfikir, yang berkuasa antara 198-218 H/813-833 M dan mengadakan hubungan kenegaraan dengan raja-raja Romawi Byzantium yang beribukota di konstantinopel, yang juga dikenal sebagai kota “Al-Hikmah”, pusat ilmu filsafat.
Para cendikiawan ketika itu berusaha memasukan filsafat Yunani sebagai bagian dari metodologi dalam menjelaskan Islam terutam aqidah, untuk memelihara peluasan antara wahyu dan akal. Tentu saja aktivitas para filsuf Muslim diatas bersentuhan dngan penafsiran Al-qur’an. Al-Qur’an secara filosofis besar sekali. Al-kindi misalnya, yang dikenal sebagai bapak filsuf Arab dan Muslim, berpendapat bahwa untuk memahamo al_qur’an denganbenar, isinya harus di tafsirkan secara Rasional, bahkan filosofis. Al-Kindi berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang mengajak manusia untuk merenungkan peristiwa-peristiwa alam dan menyingkapkan makna yang lebih dalam dibalik terbit-tenggelamnya matahari, berkembang-menyudutnya bulan, pasang surutnya air laut dan seterusnya. Ajakan ini merupakan seruan untuk berfilsafat. Seperti halnya Al-Kindi, Ibn Rusyd pun berpendapat demikian. Lebih jauh Ibn Rusyd nmenyatakan bahwa tujuan dasar filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan berbuat benar.
Dalam hal ini fislafat sesuai dengan agama sebab tujuan agama pun tidak lain adalah menjamin pengetahuan yang benar bagi umat Manusia dan menunjukkan jalan yang benar bagi kehidupan yang praktis. Itulah sebabnya, Nurcholish Madjid menyatakan bahwa sumber dan pangkal tolak filsafat dalam islam adalah ajaran islam sendiri sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun memiliki dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri, filsafat banyak mengandung unsur-unsur dari luar, terutama Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani.
Uraian di atas terlihat jelas bahwa di satu sisi, filsafat Islam berkembang setelah umat Islam memiliki hubungan interaksi dengan dunia Yunani. Pemakaian kata “filsafat” di dunia Islam digunakan untuk menerjemahkan kata “hikmah” yang ada dalam teks-teks kegamaan Islam, seperti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Para filsuf Muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggung jawab pribadi dihadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan (determinisme), asal-usul penciptaan dan seterusnya, yang semua itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme. Tampak jelas terlihat adanya hubungan yang bersifat akomodatif bahwa filsafat Yunani member modal dasar dalam pelurusan berfikir yang ditopang sejatinya oleh Al-Qur’an sejak dulu. Secara teologi dapat dikatakan bahwa sumber Al-Qur’an secara azali telah ada maka filsafat Yunani hanya sebagai desain besar Allah SWT. Akan tetapi, persoalan yang muncul adalah orisnaitas filsafat Islam, apakah ia mengekor atau pelopor.
Nurcholis madjid, yang mengutip pendapat Bertrand Russel, menyatakan bahwa memang disatu pihak filsafat Islam merupakan “barang baru” di dunia Islam. Namun, di pihak lain dalam pengembangan ilmu ini terdapat yang original, yang bukan milik Barat. Bahkan, Barat meminjamnya dari Islam, seperti ilmu matematika dan kimia. Tidak adanya orisinilitas yang mengesankan pada pemikiran kefilsafatan Islam klasik. Sebab, para filsuf klasikmIslam, betapa pun pengembaraan intelektualnya adalah orang-orang yang religious. Mungkin, tafsiran mereka atas beberapa noktah ajaran agama tidak dapat diterima oleh para ulama ortodoks.
Karena religiusitas mereka, pemikiran spekulatif kefilsafatan terjadi hanya dalam batas-batas yang masih dibenarkan oleh agama, yang agama itu sendiri bagi mereka telah cukup rasionalitas sebagaimana yang telah dituntut oleh filsafat. Abdul Mun’im mengatakan bahwa Islam adalah agama yang memberikan kebebasan dalam membicarakan filsafat, berbeda dengan Kristen. Dengan demikian, orang Arablah yang memberikan keutamaan dalam menyebarkan filsafat Yunani dan menyiarkannya kepenjuru dunia. Dapat dinyatakan bahwa hubungan filsafat Yunani adalah sebagai pengembang dan penerus sekaligus pelopor filsafat yang bercorak Islam yang disebarkan keberbagai dunia Barat.
b.      Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani: Kajian Doktrin
Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan yang tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetaoi juga dalam perekembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam itu sendiri. Hanya yang menjadi masalah di sini adalah apakah penggunaan akal, seperti yang munculdalam istilah Islam rasionalis atau rasionalis dalam Islam itu percaya kepada rasio semata-mata dan tidak mengindahkan wahyu? Atau membuat akal lebih tinggi daripada wahyu sehingga wahyu dapat dibatalkan oleh akal? Dalam pemikira Islam , baik dalam filsafat atau ilmu kalam, apalagi dalam bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap mutlak benar. Akal dipakai hanya untuk memahami teks wahyu dan sekali-kali tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan member interpretasi.
Ringkasnya, dapat dikatakan bahwa hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani, secara doctrinal memiliki hubungan bahwa islam memiliki ajaran untuk mencari pengetahuan dan alatnya adalah akal untuk menggali pemikiran yang benar. Begitu pula, dalam filsafat yunani akal menjadi pusat pemikiran yang begitu bebas, sementara dalam filsafat islam diberikan kelonggaran, meskipun terdapat keketatan dalam penggunan rasio.  Suatu kebenaran yang tidak dapat ditolak adalah pengaruh peradaban Yunani, Persia, dan India. Diantara ilmu-ilmu India yang besar pengaruhnya kepada intelektual Islam adalah ilmu hitung, astronomi, ilmu kedokteran, dan matematika dengan angka-angka yang oleh orang Arab  disebut angka India dan oleh orang Eropa kemudian dikenal dengan nama angka Arab. Sedangkan dari Persia terdapat ilmu bumi, logika, filsafat, astronomi, ilmu ukur, kedokteran, sastra, dan seni. Pengaruh terbesar yang diterima umat Islam dalam bidang ilmu dan filsafat, menurut Ahmad Amin, adalah dari Yunani. Karena kontak umat Islam dengan kebudayaan Yunani bersamaan waktunya dengan penulisan ilmu-ilmu Islam, maka masuklah ke dalamnya unsur-unsur kebudayaan Yunani yang memberinya corak tertentu, terutama dalam bentuk dan isi. Dalam bentuk, pengaruh logika Yunani besar sekali, ilmu-ilmu Islam diberi warna baru, ditempa menurut pola Yunani dan Disusun sesuai dengan sistem Yunani. Jadi, logika Yunani mempunyai pengaruh yang sangat besar pada alam pikiran Islam di zaman Bani Abbas.
c.       Pandangan Sejarah filsafat islam
Dalam sejarah, pertemuan Islam (kaum muslimin) dengan filsafat, terjadi pada abad-abad ke-8 masehi atau abad ke-2 Hijriah, pada saat Islam berhasil mengembangkan sayapnya dan menjangkau daerah-daerah baru. Dalam abad pertengahan, filsafat dikuasai oleh umat Islam. Buku-buku filsafat Yunani, diseleksi dan disadur seperlunya, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Minat dan gairah mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan waktu itu begitu tinggi karena pemerintahlah yang menjadi pelopor serta pioner utamanya.
Dua imperium besar pada masa itu, yakni Abbasiyah dengan ibu kotanya Bagdad (di Timur), dan Umayyah dengan ibu kotanya Kordova (di Barat) menjadi pusat peradaban dunia yang menghasilkan banyak orang bergelut dalam dunia kefilsafatan. Untuk mengetahui sejarah perkembangan filsafat Islam, maka kehadiran para filosof muslim dalam dunia kefilsafatan dari masa ke masa harus ditelusuri. Dalam sejarah perkembangan filsafat Islam, filosof pertama yang lahir dalam dunia Islam adalah al-Kindi (796-873 M). Ide-ide al-Kindi dalam filsafat misalnya, filsafat dan agama tidak mungkin ada pertentangan. Cabang termulia dari filsafat adalah ilmu tauhid atau teologi. Filsafat membahas kebenaran atau hakekat. Kalau ada hakekat-hakekat mesti ada hakekat pertama yakni Tuhan. Ia juga membicarakan tentang jiwa dan akal. Filosof besar kedua dalam sejarah perkembangan filsafat Islam ialah al-Farabi(872-950 M). Dia banyak menulis buku-buku tentang logika, etika, ilmu jiwa dan sebagainya. Ia menulis buku “Tentang Persamaan Plato dan Aristoteles”, sebagai wujud keyakinan beliau bahwa filsafat Aristoteles dan Plato dapat disatukan. Filsafatnya yang terkenal adalah filsafat emanasi.
Selanjutnya, filosof setelah al-Farabi adalah Ibnu Sina (980-1037 M). Nama Ibnu Sina terkenal akibat dua karangan beliau yakni al-Qanun Fiy al-Tibb yang merupakan sebuah Ensiklopedia tentang ilmu kedokteran yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 M, dan menjadi buku pegangan di universitas-universitas Eropa, dan al-Syifa al-Qanun yang merupakan Einsiklopedia tentang filsafat Aistoteles dan ilmu pengetahuan. Di dunia Barat, beliau dikenal dengan Avicenna (Spanyol Aven Sina) dan popularitasnya di dunia Barat sebagai dokter melampau popularitasnya sebagai filosof, sehingga ia diberi gelar dengan “the Prince of the Physicians”. Di dunia Islam sendiri, ia diberi gelar al-Syaikh al-Ra’is atau pemimpin utama dari filosof-filosof. Filosof selanjutnya adalah Ibnu Miskawaih (W. 1030 M). Beliau lebih dikenal dengan filsafat akhlaknya yang tetuang dalam bukunya, Tahzib al-Akhlak. Menurutnya, akhlak adalah sikap mental atau jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tanpa pemikiran yang dibawa sejak lahir. Kemudian ia berpendapat bahwa jiwa tidak berbentuk jasmani dan mempunyai bentuk tersendiri. Jiwa memiliki tiga daya yang pembagiannya sama dengan pembagian al-Kindi. Kesempurnaan yang dicari oleh manusia ialah kebajikan dalam bentuk ilmu pengetahuan dan tidak tunduk pada hawa nafsu serta keberanian dan keadilan. Filosof berikutnya adalah al-Ghazali. Selain filosof, al-Gazali juga termasuk sufi. Jalan yang ditempuh al-Ghazali diakhir masa hidupnya meninggalkan perasaan syak yang sebelumnya mengganggu jiwanya. Keyakinan yang hilang dahulu ia peroleh kembali.
Berdasar dari uraian-uraian terdahulu, maka dapat dipahami bahwa perkembangan filsafat Islam, pada mulanya terwariskan dari karangan-karangan filosof Yunani, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Latin, dan berpengaruh bagi ahli-ahli fikir Eropa sehingga ia diberi gelar penafsir (comentator), yaitu penafsir filsafat Aristoteles. Perkembangan filsafat Islam, hidup dan memainkan peran signifikan dalam kehidupan intelektual dunia Islam. Jamal al-Dīn al-Afgani, seorang murid Mazhab Mulla Shadra saat di Persia, menghidupkan kembali kajian filsafat Islam di Mesir. Di Mesir, sebagian tokoh agama dan intelektual terkemuka seperti Abd. al-Halim Mahmud, Syaikh al-Azhar al-marhum, menjadi pengikutnya. Filsafat Islam di Persia, juga terus berkembang dan memainkan peran yang sangat penting meskipun terdapat pertentangan dari kelompok ulama Syi’ah. Tetapi patut dicatat bahwa Ayatullah Khoemeni, juga mempelajari dan mengajarkan al-hikmah (filsafat Islam) selama berpuluh puluh tahun di Qum, sebelum memasuki arena politik, dan juga Murtadha Muthahhari, pemimpin pertama Dewan Revolusi Islam, setelah revolusi Iran 1979, adalah seorang filosof terkemuka. Demikian pula di Irak, Muhammad Baqir al-Shadr, pemimpin politik dan agama yang terkenal, adalah juga pakar filsafat Islam.
d.      Sumber-Sumber Filsafat Islam
Tradisi Filsafat Yunani merupakan sumber awal kelahiran Filsafat-Filsafat lain, termasuk juga Filsafat Islam. Akan tetapi, hubangan antara Filsafat Islam dan Filsafat Yunani tidak terjadi secara langsung tanpa perantara. Kebudayaan Hellenistik yang berkembang di Iskandariah adalah perantara itu. Seperti sudah disebutkan dalam ringkasan sejarah kemunculan Filsafat Islam sebelumnya, kerja-kerja penerjemahan terhadap karya-karya Filsafat Yunani yang di lakukan umat Islam tidak mungkin terjadi tanpa adanya bantuan tidak langsung dari para Filosof Iskandariah. Dengan kata lain, hubungan antara Filsafat Yunani dan tradisi pemikiran Islam di dahului oleh kontak- budaya Islam dengan kebudayaan Kristen Timur  (mesir) yang sudah lebih dulu menyerap inti Filsafat Yunani. Jika demikian adanya, maka apapun yang menjadi sumber dalam Filsafat Yunani adalah juga sumber Filsafat Islam.
Filsafat Islam tidak menolak keberadaan indera dan akal sebagai sumber pengetahuan manusia. Dalam pembicaraan epistemologinya secara umum, indera dan pengalaman inderawi di jadikan sebagai gerbang awal pengetahuan. Alat-alat indera mengantarkan keseluruhan objek-objek terindera kepada alat kerja pengetahuan yang lebih mempuni dalam penarikan kesimpulan yakni akal manusia. Tidak penting untuk membicarakan kontroversi seputar definisi akal pada manusia jika pembicaraan pengetahuan dikonsentrasikan pada mekanisme kerja pembentukan pengetahuan berdasarkan data-data yang diterima oleh alat-alat indera, baik indera bagian luar, maupun indera bagian dalam. Secara keseluruhan, para Filosof dalam tradisi Islam tidak menolak aspek penting akal dalam Filsafat Islam. Hanya saja, dalam kadar penggunaan kemampuan rasional, boleh jadi para Filosof itu memang berbeda sesuai dengan karakter filsafat yang mereka usung. Selain pengalaman inderawi dan penalaran logis, dalam tradisi Filsafat Islam, keberadaan wahyu juga diterima sebagai sumber pengetahuan. Bahkan, pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu memiliki setatus istimewa, karna seorang penerima pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering diistilahkan dengan Nabi atau Rasul Tuhan. Tentu saja, pengetahuan semodel ini berbeda dengan pengetahuan manusia biasa yang berporos pada indera dan akal. Namun demikian, keberadaan wahyu sebagai pedoman iman harus dipercayai secara taken for granted, dan para filosof muslim berusaha untuk memahami wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji dan diletakkan dalam tataran teoritis.
Ditinjau dari kondisi historis dan normativ wahyu ilahi menempati posisi sentral dalam pemikiran umat Islam. Wahyu dijadikan sebagai pedoman dan pegangan nilai yang mengarahkan, membimbing, dan meletakkan dasar relasi antara manusia dengan realitas transenden, wahyu juga dipandang sebagai media bagi proses komunikasi ilahiyah antara manusia dengan yang “di Atas” manusia. Jika wahyu diterima sebagai respon ilahiyah terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan, termasuk juga terhadap pertanyaan-pertanyaan Filosofis manusia, maka wahyu turun salalu dalam kondisi historitas tertentu.  Thaha Hussein pernah membagi wahyu kedalam dua dimensi: the first massagedi satu sisi, dan the second massage di sisi lain. Klasifikasi ini adalah penjelasan yang menekankan bahwa wahyu tidak berdiri sendiri dalam mengatasi persoalan-persoalan kemanusiaan. Dengan kata lain, penalaran logis menjadi hal yang tidak bisa dihindari dalam urusan menerjemahkan maksud-maksud wahyu yang terkadang diturunkan lewat rumusan-rumusan bahasa metaforis. Penalaran akal kemanusiaanlah yang kemudian menghubungkan wahyu dengan fakta dan realitas historis kemanusiaan di bumi. Peristiwa Tahkim yang mengakhiri perang saudara antara pasukan Ali dan Mu’awiyah di Siffin dapat dijadikan bukti historis bahwa wahyu memang sangat terbuka utuk interpretasi kemanusiaan, bahkan ketika interpretasi itu berpretensi untuk menyesatkan atau sekedar melakukan pembangkangan metodis, Fenomena pewahyuan adalah persoalan yang banyak menyita waktu dan pikiran para Filosof muslim. Naif untuk mengatakan bahwa para Filosof muslim menolak pewahyuan dan Risalah kenabian,sebab jika sejarah para Filosof muslim yang menolak dibuka kembali, maka hanya akan dijumpai sedikit nama saja yang menolak pewahyuan. Fakta ini berbanding terbalik dengan fakta historis dan cerita-cerita tentang para Filosof yang justru memulai keberangkatan pemikiran Filsafat melalui pedoman wahyu, dan demi kelangsungan tafsiran atas wahyu. Ketika menjelaskan persoalan wahyu, al-Farabi mengatakan bahwa saat seorang Nabi menerima wahyu, setidaknya ada tiga jenis intelek yang dilibatkan: pertama, intelek aktif sebagai entitas yang bertindak sebagai perantara transenden antara Tuhan dan manusia. kedua,intelek perolehan (al’aql al mustafad) yang dipeoleh Nabi hanya ketika jiwanya bersatu dengan intelek aktif. Ketiga, intelek pasif (al aql al manfail) yang merupakan kondisi intelek penerima wahyu. Penjelasan al Farabi ini adalah bukti bahwa proses pewahyuan tidak untuk ditolak. Penjelasan ini dirasionalisasikan  untuk memudahkan dan menanamkan keyakinan awam pada tendensi pewahyuan. Karena wahyu telah diterima sebagai sumber pengetahuan dalam FilsafatIslam,maka mau  tidak mau, Filsafat Islam juga selalu bersinggungan dengan bidang-bidang keilmuan Islam lain. Hal ini karna keseluruhan objek kajian dalam al dirasah al Islamiyah merupakan interpretasi atas pedoman dasar agama Islam. Dalam pada itu, perbedaan tiap bidang kajian bermula tidak saja dari pemilahan objek dan ruang lingkupnya, tetapi juga bermula dari penentuan metode yang digunakan dalam menyikapi kitab suci.
Islam merupakan agama yang paling memuliakan teks suci. Dalam berbagai forum pidato, penulisan buku dan pergaulan sehari-hari, umat Islam kerap menukil dan menyartakan kutipan-kutipan teks suci. Teks suci telah dijadikan sebagai rujukan legitimasi berbagai wacana Ilmiah dan politik. Hal ini membawa masalah baru ketika batas antara interpretasi, manipulasi dan apresiasi atas teks suci tidak jelas dan kabur. Jika dikaitkan dengan prihal seni seni, karna Islam menganut paham Ikonoklasme radikal, maka yang paling menonjol adalah seni kaligrafi, berbeda dari keyakinan Hindu dan Kristen yang justru menjadikan lukisan dan patung sebagai medium ritual. Dalam menyikapi teks suci, keragaman cara pernah muncul dan kesemuaannya membuktikan bahwa umat Islam menjadikan teks sebagai turats yang dinamis. Teks diyakini sebagai sumber inspirasi, resource dalam melakukan adaptasi dan adjustment. Kebebasan dalam berpikir dan berkreasi telah melahirkan peradaban Islam yang agresif dan ekspansif, digulirkan diatas teks suci sesuai dengan kepetingan zaman dan diselenggarakan dalam upaya merealisasikan Islam yang relavan di tiap zaman. Teks diyakini perlu untuk dibaca berulang-ulang untuk menemukan spirit yang dikandungnya. Spirit yang terkandung dalam teks merupakan syarat untuk merealisasikan Islam yang tidak interpretable ketika dihadapkan dengan kebutuhan umat yang actual dan yang mungkin belum terjadi di masa-masa terdahulu.
Jika sumber dari sebuah tradisi adalah teks verbal yang dapat dibaca di wilayah kultural yang berbeda dengan tanah asalnya, maka problem yang muncul dalam kasus pembacaan teks di luar kultur aslinya adalah bagaimana menciptakan kembali teks dan menyesuaikan dengan kultur pembaca. Penerjemahan dan penafsiran adalah dua system yang selama ini diberlakukan dalam upaya penciptaan kembali teks. Dalam system penerjemahan, suatu tradisi diciptakan kembali dengan cara yang harfiah melalui penempatan teks sebagai inti dari tradisi. Sedangkan dalam system penafsiran, tradisi diciptakan kembali dengan membaca semangat dan nilai-nilai yang dikandung teks dalam situasi yang baru dan melalui artikulasi simbolis yang juga baru. Unsur kreasi dalam system penafsiran sedikit lebih menonjol dari pada penerjemahan. Hal ini dimungkinkan karena dalam system penafsiran, tradisi dan masa lalu tidak dipandang sebagai sesuatu yang paripurna dan telah diseleseikan. Sampai titik ini, jelas bahwa Filsafat Islam yang menerima keberadaan wahyu sebagai dasar pengetahuan yang dituntut berinteraksi dengan teks suci agama Islam dengan melakukan pembacaan yang berulang demi melahirkan pemikiran yang brilian sebagai jawaban atas tiap pertanyaan filosofis.



BAB III
KAJIAN FILSAFAT ILMU

A.    Ontologi Ilmu
Ontologi. Objek yang menjadi kajian dalam ontologi tersebut adalah realitas yang ada. Dan dalam ontologi adalah studi tentang yang ada yang universal, dengan mencari pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan atau menjelaskan yang ada dalam setiap bentuknya.dalam ontologi merupakan studi yang terdalam dari setiap hakekat kenyataan, seperti dapatkah manusia sungguh-sungguh memilih, apakah ada Tuhan, apakah nyata dalam hakekat material ataukah spiritual, apak jiwa sungguh dapat dibedakan dengan badan.
B.     Epistemologi Ilmu
Epistemologi. Epistemologi studi tentang asal usul hakekat dan jangkauan pengetahuan. Apakah pengalaman merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Apakah yang menyebabkan suatu keyakinan benar dan yang lain salah. Adakah soal-soal penting yang tidak dapat dijawab dengan sains dan dapatkah kita mengetahui pikiran dan perasaan orang lain. Pengkajian dari epistemologi adalah hakekat pengetahuan yang terdiri empat pokok persoalan pengetahuan seperti keabsahan, struktur, batas dan sumber.
C.    Aksiologi Ilmu
Aksiologi dan Estetika. Aksiologi atau etika studi tentang prinsip-prinsip dan konsep yang mendasari penilaian terhadap prilaku manusia. Contohnya tindakan yang membedakan benar atau salah menurut moral, apakah kesenangan merupakan ukuran dapat dikatakan sebagai ukuran yang baik, apakah putusan moral bertindak sewenang-wenang atau bertindak sekehendak hati. Sedangkan estetika studi yang mendasarkan prinsip yang mendasari penilaian kita atas berbagai bentuk seni. Apakah tujuan seni, apa peranan rasa dalam pertimbangan estetis, bagaimana kita mengenal sebuah karya besar seni.
D.    Ilmu-ilmu Keislaman
a.      Ontologi Filsafat Islam
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi Ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud yang ada. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasar dengan logika.[2]Ontologi atau disebut juga dengan istilah metafisika, mempersoalkan adanya sesuatu yang ada. Ontologi, secara sederhana dapat dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Hakikat kenyataan atau realitas dapat dilihat dengan dua macam sudut pandang. Yang pertama, kauntitatif dan kualitatif.[3]Konsep tentang wujud adalah sulit didefinisikan dengan tepat mengingat wujud sudah ada terlebih dahulu sebelum konsep tentang segalanya muncul.
b.      Epistimologi Filsafat Islam
Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu yang membahas tentang pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber pengetahuan. Dengan kata lain epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti atau membahas tentang tata-cara, teknik atau prosedur, mendapat ilmu dan  keilmuan.  Filsafat dan agama sebagai dua kekuatan  yang  mewarnai dunia telah menawarkan konstruksi epistemologi yang berbeda dalam menjawab permasalahan. Sejak zaman yunani kuno filsafat telah berkembang sebagai suatu bentuk kreativitas manusia dalam berpikir dengan menggunakan kekuatan daya nalarnya. 
Islam sebagai agama yang diturunkan untuk menjawab seluruh pertanyaan dan menyelesaikan seluruh permasalahan hidup manusia tentu mempunyai jawaban tersendiri mengenai permasalahn epistemologi. Jawaban atas permasalahn tersebut bersumber dari wahyu Allah yang termaktub dalam Al Qur’an. Ayat-ayat Al Qur’an yang memberikan jawaban universal terhadap persoalan kemanusiaan, persoalan epistimologi diinterpretasikan dengan pendekatan logis oleh para pemikir muslim yang akhirnya merumuskan filsafat islam.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas hakikat ilmu pengetahuan manusia, khususnya pada empat masalah, yaitu:
1. Sumber- sumber ilmu pengetahuan
2. Alat pencapai ilmupengetahuan
3. Metode pencapaian pengetahuan
4. Batasan pengetahuan atau klasifikasi pengetahuan
Selain dianggap sebagai cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan manusia. Epistemologi juga sering diidentikan dengan asumsi-asumsi teoritis yang mendasari suatu pendapat ataupun bangunan pengetahuan manusia. Mengenai alat pencapai ilmu pengetahuan, secara umum para pemikir Islam sepakat bahwa ada tiga alat epistemologi yang dimiliki oleh manusia dalam mencapai ilmu pengetahuan, yaitu indra, akal dan hati. Ketiga epistemologi ini kemudian menghasilkan tiga metode dalam pencapaian pengetahuan, yaitu:
1. Metode observasi sebagaimana yang dikenal dalam epistemologi barat atau disebut juga metode bayani yang menggunakan indra sebagaimana pirantinya.
2. Metode deduksi logis atau demonstratif atau disebut juga metode burhani dengan menggunakan akal.
3. Metode intuitif atau irfani dengan menggunakan hati.
Metode observasi ditujukan untuk melakukan pengkajian terhadap objek-objek yang bersifat inderawi dan menghasilkan pengetahuan sains, dalam istilah Muhammad Baqir Shadr metode ini disebut pula dengan metode disposesi. Adapun metode demonstratif ditujukan untuk memahami realitas-realitas imajinal manusia dan melahirkan ilmu-ilmu murni berupa logika, matematika dan filsafat. Selanjutnya metode intuitif digunakan untuk memahami secara langsung realitas yang bersifat metafisis yang bersifat hudhuri dalam jiwa manusia dan menghasilkan pengetahuan mistik.
c.       Aksiologi Filsafat Islam
Aksiologi adalah cabang dari filsafat yang membicarakan tentang orientasi dapat menjadi sarana orientasi  manusia dalam usaha menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental. Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti karakter, watak kesusilaanatau adat kebiasaan di mana etika berhubungan erat dengan konsep individu atau kelompoksebagai alat penilai kebenaran atau evaluasi terhadap sesuatu yang telah dilakukan. Etikaadalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral.Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Estetika adalah cabang ilmu yang membahas masalah keindahan. Bagaimana keindahan bisa tercipta dan bagaimana orang bisa merasakannya dan memberi penilaian terhadap keindahan tersebut. Secara etimologi, estetika diambil dari bahasa Yunani, aisthetike yang berarti segala sesuatu yang dapat dicerna oleh indra. Estetika membahas refleksi kritis yang dirasakan oleh indera dan memberi penilaian terhadap sesuatu, indah atau tidak indah, beauty or ugly. Estetika disebut juga dengan istilah filsafat keindahan. Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh
BAB IV
ALIRAN DALAM FILSAFAT

A.    Rasionalisme

Rasionalisme merupakan aliran filsafat yang sangat mementingkan rasio, didalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun sutau ilmu pengetahuan tanpa harus menghiraukan realitas diluar rasio

B.     Empirisme

Pada aliaran ini berpendapat bahwa pada bidang pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan inderawi yang merupakan yang paling jelas dan sempurna.

C.    Idealisme

Aliran filsafat yang menganggap bahwa realitas ini terdiri dari ide-ide pikiran-pikiran akal atau jiwa dan bukan benda material dan kekuatan.

D.    Materialisme

Materialisme merupakan aliran yang menganggap bahwa didunia ini tidak ada selain materi atau nature ( alam ) dan dunia fisik adalah satu. Faham materialisme ini tidak memerlukan dalil-dalil yang muluk-muluk dan abstrak juga teorinya jelas berpegang pada kenyataan-kenyataan yang jelas dan mudah dapat dimnegerti.

E.     Utilitarianisme

Aliran Utilitarianisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Adapun ukuran kemanfaatan hukum yaitu kebahagian yang sebesar-besarnya bagi orang-orang. 

F.    Vitalisme

Vitalisme adalah paham atau aliran dalam filsafat manusia yang beranggapan bahwa kenyataan sejati pada dasarnya adalah energi, daya, kekuatan, atau nafsu yang bersifat iirasional atau tidak rasional. 

G.    Fenomenologi

Fenomenologi adalah cara untuk memahami hal ekspresi manusiawi terhadap latar belakang hubungan yang fundamental. Sebagai suatu usaha pemikiran, fenomenologi mencoba memahami manusia dalam kerangka filsafat antropologi.

 

H.   Pragmatisme

Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis.

I.       Hermeneutika

Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa yunani hermeneuienyang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan.

Referensi
Biyanto. Filsafat Ilmu Dan Ilmu Keislaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2015
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENDIDIKAN FISIKA DITINJAU DARI HAKIKAT ILMU

HAKIKAT PENDIDIKAN FISIKA A.     Esensi Pendidikan Fisika Fisika modern telah membawa pengaruh yang dalam pada hampir semua aspek keh...