BAB I
BERKENALAN
DENGAN FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU
A.
Definisi
Filsafat
Secara etimologis kata filsafat merupakan padanan dari falsafah
(Arab) dan philosophy (Inggris). Sedangkan kata falsafah sendiri berasal dari
bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia berarti cinta pada kebijaksanaan.
Para pemikir Muslim sebelum mengenal kata filsafat, mereka menggunakan kata
hikamah (kebijaksanaan). Istilah philosophia pertama kali digunakan filsuf
Yunani Kuno, Pythagoras (582-496 SM). Selanjutnya istilah philosophia menjadi
populer di masa Socrates (470-399 SM), Plato (428-348 SM), dan Aristoteles.
Definisi filsafat berbeda-beda, sangat bergantung pada perspektif
dan latar belakang filsuf masing-masing. Plato mengatakan bahwa filsafat
merupakan pencarian yang bersifat spekulatif tentang seluruh kebenaran.
Aristoteles membedakan pengertian Sophia dan philosophia. Menurutnya Sophia
merupakan kebaikan intelektual yang tertinggi. Sedangkan philosophia merupakan
padanan dari kata episteme yang berarti kumpulan dari pengetahuan rasional
mengenai segala objek. Aliran filsafat Yunani-Romawi yakni Stoic (Stoicsm)
mendefinisikan filsafat sebagai suatu sistem etika untuk mencapai kebahagiaan
dalam diri masing-masing orang dengan mengusahakan keselarasan manusia dan alam
semesta. Seorang filsuf Stoic, Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) menyebut
filsafat sebagai ibu dari segala pengetahuan. Fuad Hasan (1929-2007)
mendefinisakan filsafat sebagai ikhtiar untuk berpikir radikal.
B.
Objek Filsafat
Menurut Louis
Kattsoff, bidang telaah filsafat meliputi segala pengetahuan manusia serta
segala sesuatu yang ingin diketahui manusia. Rene Descartes mengatakan filsafat
adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya mengenai
Tuhan, alam, dan manusia. Objek filsafat dibagi menjadi dua, yakni objek
material dan objek forma. Objek materia meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam,
hakikat manusia. Sedangkan objek forma adalah usaha mencari keterangan yang
radikal tentang objek material.
C.
Berfikir
Filsafati
Menurut Jan
Hendrik Raper, ada empat hal yang merangsang manusia untuk berfilsafat, yaitu
ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan.
D.
Karakteri
Berpikir Filsafati
Karakteristik berpikir filsafati
yaitu, menyeluruh (universal), mendasar (radikal), permenungan (spekulatif).
E.
Filsafat
sebagai Pioner
Filsafat bukan
termasuk pengetahuan yang bersifat memerinci. Filsafat selalu menyerahkan
wilayah pemikiran yang telah dijelajahinya pada ilmu. Perkembangan ilmu selalu
dihubungkan dengan filsafat. Menurut Plato filsafat adalah induk ilmu
pengetahuan. Ilmu merupakan jenis pengetahuan yang bersifat metodis,
sistematis, dan koheren tentang bidang tertentu dari kenyataan. Sedangkan
filsafat adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang
seluruh kenyataan.
F.
Cabang Filsafat
Aristoteles
membagi cabang filsafat menjadi tiga bidang, yaitu ; praktis, produktif, dan
teoretis. Filsafat teoretis dibagi lagi menjadi tiga; matematika, fisika, dan
filsafat pertama.
Will Durant
menyebut lima cabang dalam filsafat, meliputi; logika, estetika, etika,
politik, metafisika. Seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu khusus maka cabang
filsafat saat ini menjadi kian banyak, meliputi; epistemology, etika, estetika,
politik, logika, filsafat agama, filsafat ketuhanan, filsafat pendidkan,
filsafathukum, filsafat sejarah, filsafat matematika, filsafat budaya, filsafat
manusia, filsafat bahasa, filsafat ilmu.
G.
Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu
merupakan bagian dari epistemologi yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu.
Filsafat ilmu dibagai menjadi filsafat ilmu alam dan filsafat ilmu sosial.
Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah.
Filsafat ilmu
merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai
hakikat ilmu, baik ditinjau dari sudut ontologism, epistemologis, maupun
aksiologis, yang dilakukan secara mendalam, sistematis dan spekulatif. Semua
pengetahuan pada dasarnya dapat ditelaah dalam tiga sudut pandang ontologism,
epistemologis, dan aksiologis.
Tujuan filsafat
ilmu yaitu; pertama memperdalam unsur-unsur pokok ilmu sehingga secara
menyeluruh dapat dipahami sumber, hakikat dan tujuan dari ilmu. Kedua, memahami
sejarah perkembangan serta kemajuan ilmu di berbagai bidang sehingga diperoleh
gambaran mengenai proses penemuan ilmu sejak zaman Yunani kuno hingga postmodernisme.
Ketiga, mempertegas sikap bahwa antara ilmu dan agama sesungguhnya tidak ada
pertentangan.
BAB II
SEJARAH FILSAFAT
A.
Tentang Sejarah
Filsafat
Sejarah
filsifat adalah bidang ilmu yang mengkaji perkembangan filsafat dari masa ke
masa, tentang system-sistem filsafat, serta penafsiran secara kritis hasil
pemikiran para filsuf terhadap persoalan-persoalan filsafati. Objek utama
sejarah filsafat sebagai sebuah ilmu yaitu hasil akal budi yang berupa pikiran,
gagasan filosofis, serta isi dan pengaruhnya dikemudian hari. Sedangkan tujuan
mempelajari sejarah filsafat ialah menguraikan asal-usul dan perkembangan
berbagai gagasan filsuf.
Hamersma
membagi sejarah filsafat dalam tiga tradisi besar, yakni India, China, dan
Barat. Hamersma memasukan filsafat Yunani, filsafat Hellenistik, filsafat
Kristiani, filsafat Islam, filsafat zaman renaisans, filsafat modern, dan
filsafat kontemporer, dalam kategori filsafat Barat. Sejarah peradaban barat
yang hebat berkesinambungan dengan sejarah filsafat Islam. Dunia Islam telah
menyelamatkan khazanah pemikiran dari Yunani dengan cara menerjemahkan
karya-karya Yunani dalam bahasa Arab.
B.
Sejarah
Filsafat India
Filsafat India
berpangkal pada keyakinan bahwa ada kesatuan fundamental antara manusia dan
alam serta harmoni antara individu dan kosmos. Dalam pandangan filsafat India,
dunia dengan seluruh isinya tidak untuk dikuasai, melainkan untuk diajak
berteman. Harry Hamersma membagi filsafat India dalam lima periode, yakni;
1.
Zaman Weda (2000-600 SM). Kata weda merujuk
pada kitab suci bangsa Aryan yang masuk India sekitar 1500 SM. Kitab Weda
terdiri atas Samitha, Brahmana, Aranyaka, dan Upanishad.
2.
Zaman Skeptisisme (600 SM-300 M). Zaman ini
ditandai dengan reaksi para imam atau rahib. Budhisme merupakan agama asli
orang India. Melalui Siddharta Gautama filsafat India diajarkan dalam bentuk
yang lebih praktis untuk mencapai keselamatan. Pasca Budhisme muncul Hinduisme
yang mengajarkan jalan untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan.
3.
Zaman Puranis (300-1200). Zaman ini ditandai
dengan lenyapnya Buddhaisme dari India. Cerita inkarnasi dewa-dewa terekam
dalam dua epos besar warisan india, yakni; Mahabharata dan Ramayana.
4.
Zaman Muslim (1200-1757). Usaha muslim
menundukan India dimulai pada zaman Utsman bin Affan, Dinasti Umayyah, hingga
munculnya Dinasti Mughal. Tokoh Dinasti Mughal, Sultan Akbar mencoba
menggabungkan ajaran berbagai agama yang disebut dengan Din Ilahi.
5.
Zaman Modern (Pasca 1757). Zaman modern
ditandai dengan berkembangnya nilai-nilai klasik India. Beberapa tokoh populer
di zaman ini adalah, Ram Mohan Roy, Vivekananda, Mahatma Gandhi dan
Rabindranath Tagore.
C.
Sejarah
Filsafat China
Ajaran filsafat
China lebih bercorak antroposentris (perikemanusiaan). Filsafat China
mengajarkan bahwa manusia dapat menentukan nasibnya sendiri. Periodesasi
filsafat China dibagi menjadi empat, yakni;
1.
Zaman Klasik (600-200 SM). Periode ini ditandai
dengan munculnya beberapa sekolah dan aliran filsafat. Diantara sekolah yang
terpenting adalah konfunianisme, Taoisme, Yin-Yang, Ming Chia, dan Fa Chia.
2.
Zaman Neo Taoisme dan Buddhisme (200 SM-1000). Konsep
Tao memperoleh makna baru seiring dengan perkembangan Buddhisme di China. Pada
periode ini berkembang ajaran meditasi.
3.
Zaman Neo Konfusianisme (1000-1900).
Nilai-nilai berpikir masyarakat China yang mengajarkan kepentingan dunia, hidup
berkeluarga, dan kemakmuran material, tampak sekali di abaikan dalam Buddhisme.
Dampaknya, alam pikiran China kembali pada ajaran konfusius.
4.
Zaman Modern (Pasca 1900)
Sejarah modern China dimulai pada tahun 1900.
Pada awal abad XX filsafat barat menunjukkan pengaruh yang sangat besar di
China aliran filsafat barat yang populer di China adalah pragmatism.
Setidaknya
ada tiga tema yang selalu diwacanakan dalam filsafat Cina yaitu harmoni,
toleransi, dan kemanusiaan. Dalam
perspektif filsafat Cina manusia yang baik harus selalu mencari kebahagiaan
dengan mengembangkan dirinya sendiri melalui interaksi dengan alam dan sesame.
D.
Sejarah
Filsafat Barat
Sejarah
filsafat barat sangat ditentukan oleh perkembangan peradaban dan kebudayaannya.
Hal itu berarti peradaban dan kebudayaan dalam bentuk ilmu pengetahuan
teknologi manajemen informasi dan komunikasi sangat mempengaruhi perkembangan
sejarah filsafat barat.
Secara
umum sejarah filsafat barat dibagi menjadi empat periode, yaitu;
1.
Zaman Yunani Kuno (600 SM- 400 M). Pembahasan
filsafat Yunani kuno dapat dibagi menjadi tiga berdasar corak pembahasannya
pertama membahas filsafat alam pada masa pra socrates yakni ketika logos
menggantikan mitos kurun waktunya kira-kira 750-500 SM. Kedua membahas filsafat
manusia yang di mulai masa socrates hingga Aristoteles kira-kira tahun 500-323
SM. Ketiga membahas aliran hellenik yang berkembang ketika filsafat Yunani mulai
memudar seiring mangkatnya Aristoteles periodenya kira-kira mulai 323 SM 529
Masehi.
2.
Zaman Patristik dan Skolastik (200 SM-1000). Sejarah
filsafat barat zaman patristik dan skolastik ini juga dinamakan abad
pertengahan. Corak filsafat zaman ini dikuasai pemikiran gereja. Zaman
patristik dibagi menjadi dua, yakni patristik Yunani dan patristik latin. Zaman
skolastik ditandai dengan diajarkannya filsafat di sekolah atau universitas.
Pada periode ini filsafat diajarkan di sekolah-sekolah biara dan universitas.
Perintis skolastisisme adalah Santo Agustinus dan filsuf terbesar pada masa
skolastik adalah Thomas Aquinas. Tema pokok yang diajarkan filsuf zaman
skolastik adalah hubungan iman dan akal budi, hakikat Tuhan, antropologi, etika
dan politik. Filsafat zaman skolastik telah memulai wacana mengenai adanya dua
sumber kebenaran yakni akal dan iman atau filsafat dan agama.
3.
Zaman Modern adalah zaman dimana terjadinya
Renaissance. Dimanakan jaman Renaissance (kelahiran
kembali.), karena kala itu kebudayaan klasik
Yunani dan Romawi dihidupkan kembali.
Kesusateraan, seni, dan filsafat mencari inspirasi dari dan warisan
Yunani-Romawi. Pembaharuan terpenting pada renesanse
adalah ‘antroposentrisme’nya. Pusat pemikiran tidak
lagi kosmos, seperti pada jaman Yunani
kuno, atau Tuhan, seperti dalam Abad
Pertengahan Eropa, melainkan manusia. MuIai saat
itu manusialah yang dianggap sebagai titik fokus
kenyataan.
Pada zaman modern ini dibagi juga menjadi zaman Barok yaitu perhatian pada kemampuan akal Iebih ditekankan. Sebagian besar filsufnya adalah matematikus, yang menggunakan matematika sebagai dasar filsafatnya. Diharapkan hasilnya juga pasti.Tokohnya: Rene Descartes (1596-1650), filsuf Perancis: ‘Bapak Filsafat Modern’. ‘cogito ergo sum’ hasil dari metodenya: skeptis-metodis. Kemudian ada Baruh Spinoza (1632-1677), filsuf Belanda, dengan faham Panteistik.
Kemudian George Leibniz (1646-1710). Kemudia zaman aman Pencerahan Lazim pula dinamai Aufklarung (Jerman), Enlightenment (Inggris), atau jaman Fajar Budi. Dinamakan demikian karna setelah semakin rasional, manusia kini sudah jadi dewasa dan tercerahkan. Ditandai oleh I. Kant (Jerman) dengan semboyan ‘Shapire Aide!’ (beranilah berpikir). Dia juga yang menciptakan sintesa dari rasionalisme dan empinisme, dan dianggap filsuf terpenting jaman modern. Tokoh-tokohnya di lnggris umumnya empirisme, seperti J. Lock (1632-1704), G. Berkeley (1684-1753), D. Flume (1711-1776), dan di Prancis JJ. Rousseau (1712-1778). Kemudia Zaman Romantik. Filsuf besar jaman ini terutama berasal dari Jerman, yaitu J. Fichte (1762- 1814), F. Schelling (1775-1854), dan G.Hegel (1770-1831). Alirannya disebut Idealisme. Inti fahamnya: yang penting adalah ide-ide, bukan dunia materi sebagaimana faham materialisme. Tokoh terpenting adalah F. Hegel.
Pada zaman modern ini dibagi juga menjadi zaman Barok yaitu perhatian pada kemampuan akal Iebih ditekankan. Sebagian besar filsufnya adalah matematikus, yang menggunakan matematika sebagai dasar filsafatnya. Diharapkan hasilnya juga pasti.Tokohnya: Rene Descartes (1596-1650), filsuf Perancis: ‘Bapak Filsafat Modern’. ‘cogito ergo sum’ hasil dari metodenya: skeptis-metodis. Kemudian ada Baruh Spinoza (1632-1677), filsuf Belanda, dengan faham Panteistik.
Kemudian George Leibniz (1646-1710). Kemudia zaman aman Pencerahan Lazim pula dinamai Aufklarung (Jerman), Enlightenment (Inggris), atau jaman Fajar Budi. Dinamakan demikian karna setelah semakin rasional, manusia kini sudah jadi dewasa dan tercerahkan. Ditandai oleh I. Kant (Jerman) dengan semboyan ‘Shapire Aide!’ (beranilah berpikir). Dia juga yang menciptakan sintesa dari rasionalisme dan empinisme, dan dianggap filsuf terpenting jaman modern. Tokoh-tokohnya di lnggris umumnya empirisme, seperti J. Lock (1632-1704), G. Berkeley (1684-1753), D. Flume (1711-1776), dan di Prancis JJ. Rousseau (1712-1778). Kemudia Zaman Romantik. Filsuf besar jaman ini terutama berasal dari Jerman, yaitu J. Fichte (1762- 1814), F. Schelling (1775-1854), dan G.Hegel (1770-1831). Alirannya disebut Idealisme. Inti fahamnya: yang penting adalah ide-ide, bukan dunia materi sebagaimana faham materialisme. Tokoh terpenting adalah F. Hegel.
4.
Zaman kontemporer. Jika abad
17 dan 18 Filsafat Barat didominir 3
aliran besar: rasionalisme, empirisme, dan idealisme,
maka pada abad 19 dan 20 ini
aliran-aliran baru bermunculan. Beberapa aliran tersebut antara lain
sebagai berikut.
Positivisme Tokohnya August Comte. Menurutnya pemikiran manusia, pemikiran
dalam ilmu, dan pemikiran suku bangsa manusia itu melewati 3 tahap: teologis,
metafisi, positif-ilmiah.
Positivisme Tokohnya August Comte. Menurutnya pemikiran manusia, pemikiran
dalam ilmu, dan pemikiran suku bangsa manusia itu melewati 3 tahap: teologis,
metafisi, positif-ilmiah.
E.
Sejarah
Filsafat Islam
Secara
historis, tarik-menarik kepentingan bahwa filsafat itu murni atau tidak murni
dari Islam adalah fakta yang tak bisa dihindari. Saling mengklaim antar ilmuwan
Barat dan Islam menjadi lembaran panjang dalam perjalanan filsafat, misalnya
Oliver Leaman yang berpendapat bahwa “filsafat Yunani sebenarnya pertama kali
diperkenalkan kepada dunia lewat karya-karya terjemahan berbahasa Arab, lalu
kedalam bahasa Yahudi, dan baru kemudian kedalam bahasa Latin atau langsung
dari bahasa Arab ke bahasa Latin”. Berbeda dengan Al-Farabi yang berpendapat
bahwa “filsafat berasal dari Irak terus Mesir dan ke Yunani, kemudian
diteruskan ke Syiria dan sampai ketangan orang-orang Arab.
Namun
pada dasarnya, sebagian kalangan menganggap bahwa awalnya filsafat berkembang
di Yunani dengan 3 tokoh yang sangat terkenal yaitu: Sokrates, Plato dan
Aristoteles. Yang mana ditangan mereka filsafat tidak hanya membicarakan kosmosentris (pemikiran
yang terpusat pada alam) namun pengetahuan tentang keyakinan agama dan
ke-Tuhanan mulai dibicarakan.
Sesudah
abad ke-3 SM (sesudah masa Plato dan Aristoteles) tidak muncul pemikiran yang
benar-benar baru dalam filsafat Yunani sampai akhirnya tampil kaum Neo Platonis
kurun abad ke-3 M. Jika membuka ulang sejarah peradaban dunia, masa setelah
Aristoteles adalah masa kejayaan Alexander Agung (Raja Iskandar Zulkarnain),
kaisar Romawi yang pernah menjadi murid Aristoteles. Alexander menaklukan Asia
kecil, Syiria, Mesir, Babilonia, Persia, Samarkand, dan Punjab. Tiap kali
berhasil memenangkan ekspansi militer, Alexander mendirikan kota-kota yang
bercita rasa Yunani. Namun ketika kekuasaannya semakin meluas, Alexander
terpaksa menganjurkan pembaruan antara budaya Yunani dan budaya bangsa jajahan.
Inilah Hellenisme, yaitu suatu peristiwa menyatunya kebudayaan Yunani disegala
bangsa jajahan Romawi.
Setelah
Alexander meninggal, kerajaannya yang besar itu terbagi tiga: Macedonia di
eropa, kerajaan Ptolemeus di mesir, dan kerajaan Seleucid di asia. Petolemeus
dan seleucus berusaha meneruskan politk alexander untuk menyatukan peradaban
yunani dan iran sungguh pun usaha itu tak berhasil kebudayaan dan
peradaban yunani meninggalkanbekas besar di daerah-daerah ini. Bahasa
administrasi yang di pakai di sana ialah bahsa yunani. Di mesir dan syiria
bahasa ini tetap di pakai sesudah mauknya islam kedalam dua daerah itu dan
hanya baru ditukar dengan bahasa arab di abad ke 7 M oleh khalifah bani umayah
A. malik Ibnu Marwan (685-705M), khalifahke 5 dari bani umayah. Alexanderia,
Antiocah, dan Bactra kemudian menjadi pusat ilmu pengetahuan dan filsafat
yunani.
Di
abad ke 3 M pusat-pusat kebudyaan yunani ini di tambah dengan kota jundis hapur
yang letaknya tidak jauh dari Baghdad (di dirikan pada tahu 762 M). disana
sewaktu kota itu masuk kebawah kekuasaan Islam, telah terdapat suatu akademi
dan rumah sakit.
Harun
al-Rasyid menjadi khalifah ditahun 786 M, dan sebelumnya ia belajar di Persia
dibawah asuhan Yahya ibnu Khalid ibnu Barmak dan dengan demikian banyak
dipengaruhi oleh kegemaran keluarga barmak pada ilmu pengetahuan dan falsafat.
Keluarga Barmak dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu penegtahuan serta
falsafat dan condong pada paham Muktazilah. Dibawah pemerintahan Harun
al_rasyid, penerjemahan buku-buku ilmu pengertahuan Yunani kedalam bahasa
Arabpun dimulai. Pada mulanya yang dipentingkan ialah buku-buku mengenai
kedikteran, tetapi kemudian juga mengenai ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan lain
dan falsafat. Buku-buku itu diterjemahkan terlebih dahulu kedalam bahasa siria,
bahasa ilmu pengetahuan di Mesopotamia di waktu itu, kemudian baru kedalam
bahasa Arab. Akhirnya penerjemahan diadakan langsung kedalam bahasa Arab.
Dengan
kegiatan penerjemahan inilah sebagian besar dari karangan-karangan Aristoteles,
Plato, Galen, serta karangan-karangan mengenai neoplatonisme dan ilmu
kedokteran dan juga karangan-karangan mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya
dapatlah dibaca oleh alim ulama Islam. Karangan-karangan tentang filsafat
banyak menarik perhatian kaum Muktazilah, sehingga banyak dipengaruhi oleh
pemujaan daya akal yang terdapat dalam filsafat yunani. Abu al-Huzail al-Allaf,
Ibrahim al-Nazzam, Bisr ibnu al-Mu’tamir dan lain-lain banyak membaca buku-buku
falsafat. Dalam pembahasan mereka mengenai teologi islam, daya akal atau logika
yang mereka jumpai dalam filsafat Yunani banyak mereka pakai. Tidak
mengherankan kalau teologi kaum Muktazilah mempunyai corak rasional dan
liberal.[2]
Tidak
lama kemudian timbullah dikalangan umat islam sendiri filosof-filosof dan
ahli-ahli ilmu pengetahuan, seperti:
a.
Al-Kindi (801-866).
b.
Al-Razi (864-926).
c.
Al-Farabi (870-950).
d.
Ibn Sina (980-1037).
e.
Ibn Maskawaih (W. 1030).
f.
Al-Ghazali (1058-1111).
g.
Ibn Bajjah (w. 1138).
h.
Ibn Tufail (1110-1185).
i.
Ibn Rasyd (1126-1198).
Dalam
ilmu pengetahuan dikenal beberapa ahli seperti :
a.
Abu Abbas al-Syarkasyi pada abad ke 9 M
dibidang kedokteran.
b.
Muhammad, Ahmad dan Hasan dibidang Matematika.
c.
Al-Asma (740-828 M) dibidang Ilmu alam.
d.
Jabir dibidang Kimia.
e.
Al-Biruni dibidang Astronomi, sejarah, geografi
dan Matematika
f.
Ibnu Haitam dibidang Optika.
1.
HUBUNGAN
FILSAFAT ISLAM DENGAN FILSAFAT YUNANI
Mengkaji
hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani dapat diakatakan
“gampang-gampang susah”. Kesulitannya terletak pada titik perbedaan
yang nyata, yaitu doktrin keimanan. Kemudahannya dapat ditelusuri dari aspek
sejarah kelahiran kedua ilmu tersebut.
a.
Hubungan
Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani: Kajian Historis
Dilihat
dari aspek sejarah, kelahiran ilmu filsafat Islam dilatarbelakangi oleh adanya
usaha penerjemahan naskah-naskahilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah
dilakukan sejak masa klasik islam. Usaha ini melahirkan sejumlah filsuf besar
muslim. Dunia Islam belahan timur yang berpusat di Bagdad, Irak lebih dahulu
melahirkan filsuf muslim daripada dunia Islam belahan barat yang berpusat di
Cordoba, Spanyol. Memperkuat pernyataan di atas, Ahmad Salabi dan Louis Ma’luf
menguraikan bahwa swjarah kebudayaan Islam mencatat, ilmu filsafat tidak
diketahui oleh orang-orang Islam, kecuali setelah masa daulah Abbasiah pertama
(132-232 H/750-847 M). ilmu ini ditransfer kedunia Islam melalui penerjemahan
dari buku-buku filsafat Yunani yang telah tersebar di daerah-daerah Laut Puith
seperti ; Iskandariah, Anthakiah, dan Harran. Terlebih pada masa Al-makmun yang
dikenal sangat tertarik pada kemerdekaan berfikir, yang berkuasa antara 198-218
H/813-833 M dan mengadakan hubungan kenegaraan dengan raja-raja Romawi
Byzantium yang beribukota di konstantinopel, yang juga dikenal sebagai kota
“Al-Hikmah”, pusat ilmu filsafat.
Para
cendikiawan ketika itu berusaha memasukan filsafat Yunani sebagai bagian dari
metodologi dalam menjelaskan Islam terutam aqidah, untuk memelihara peluasan
antara wahyu dan akal. Tentu saja aktivitas para filsuf Muslim diatas
bersentuhan dngan penafsiran Al-qur’an. Al-Qur’an secara filosofis besar
sekali. Al-kindi misalnya, yang dikenal sebagai bapak filsuf Arab dan Muslim,
berpendapat bahwa untuk memahamo al_qur’an denganbenar, isinya harus di
tafsirkan secara Rasional, bahkan filosofis. Al-Kindi berpendapat bahwa
Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang mengajak manusia untuk merenungkan
peristiwa-peristiwa alam dan menyingkapkan makna yang lebih dalam dibalik
terbit-tenggelamnya matahari, berkembang-menyudutnya bulan, pasang surutnya air
laut dan seterusnya. Ajakan ini merupakan seruan untuk berfilsafat. Seperti
halnya Al-Kindi, Ibn Rusyd pun berpendapat demikian. Lebih jauh Ibn Rusyd
nmenyatakan bahwa tujuan dasar filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang
benar dan berbuat benar.
Dalam
hal ini fislafat sesuai dengan agama sebab tujuan agama pun tidak lain adalah
menjamin pengetahuan yang benar bagi umat Manusia dan menunjukkan jalan yang
benar bagi kehidupan yang praktis. Itulah sebabnya, Nurcholish Madjid
menyatakan bahwa sumber dan pangkal tolak filsafat dalam islam adalah ajaran
islam sendiri sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun
memiliki dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri, filsafat
banyak mengandung unsur-unsur dari luar, terutama Hellenisme atau dunia
pemikiran Yunani.
Uraian
di atas terlihat jelas bahwa di satu sisi, filsafat Islam berkembang setelah umat
Islam memiliki hubungan interaksi dengan dunia Yunani. Pemakaian kata
“filsafat” di dunia Islam digunakan untuk menerjemahkan kata “hikmah” yang ada
dalam teks-teks kegamaan Islam, seperti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Para
filsuf Muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggung
jawab pribadi dihadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan (determinisme),
asal-usul penciptaan dan seterusnya, yang semua itu merupakan bagian integral
dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme. Tampak
jelas terlihat adanya hubungan yang bersifat akomodatif bahwa filsafat Yunani
member modal dasar dalam pelurusan berfikir yang ditopang sejatinya oleh
Al-Qur’an sejak dulu. Secara teologi dapat dikatakan bahwa sumber Al-Qur’an
secara azali telah ada maka filsafat Yunani hanya sebagai desain besar Allah
SWT. Akan tetapi, persoalan yang muncul adalah orisnaitas filsafat Islam,
apakah ia mengekor atau pelopor.
Nurcholis
madjid, yang mengutip pendapat Bertrand Russel, menyatakan bahwa memang disatu
pihak filsafat Islam merupakan “barang baru” di dunia Islam. Namun, di pihak
lain dalam pengembangan ilmu ini terdapat yang original, yang bukan milik
Barat. Bahkan, Barat meminjamnya dari Islam, seperti ilmu matematika dan kimia.
Tidak adanya orisinilitas yang mengesankan pada pemikiran kefilsafatan Islam
klasik. Sebab, para filsuf klasikmIslam, betapa pun pengembaraan intelektualnya
adalah orang-orang yang religious. Mungkin, tafsiran mereka atas beberapa
noktah ajaran agama tidak dapat diterima oleh para ulama ortodoks.
Karena
religiusitas mereka, pemikiran spekulatif kefilsafatan terjadi hanya dalam
batas-batas yang masih dibenarkan oleh agama, yang agama itu sendiri bagi
mereka telah cukup rasionalitas sebagaimana yang telah dituntut oleh filsafat.
Abdul Mun’im mengatakan bahwa Islam adalah agama yang memberikan kebebasan
dalam membicarakan filsafat, berbeda dengan Kristen. Dengan demikian, orang
Arablah yang memberikan keutamaan dalam menyebarkan filsafat Yunani dan
menyiarkannya kepenjuru dunia. Dapat dinyatakan bahwa hubungan filsafat Yunani
adalah sebagai pengembang dan penerus sekaligus pelopor filsafat yang bercorak
Islam yang disebarkan keberbagai dunia Barat.
b.
Hubungan
Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani: Kajian Doktrin
Dalam
ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan yang tinggi dan banyak dipakai, bukan
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetaoi juga dalam
perekembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam itu sendiri. Hanya yang menjadi
masalah di sini adalah apakah penggunaan akal, seperti yang munculdalam istilah
Islam rasionalis atau rasionalis dalam Islam itu percaya kepada rasio
semata-mata dan tidak mengindahkan wahyu? Atau membuat akal lebih tinggi
daripada wahyu sehingga wahyu dapat dibatalkan oleh akal? Dalam pemikira Islam
, baik dalam filsafat atau ilmu kalam, apalagi dalam bidang ilmu fiqih, akal
tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu
tetap dianggap mutlak benar. Akal dipakai hanya untuk memahami teks wahyu dan
sekali-kali tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi
terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan member
interpretasi.
Ringkasnya,
dapat dikatakan bahwa hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani, secara
doctrinal memiliki hubungan bahwa islam memiliki ajaran untuk mencari
pengetahuan dan alatnya adalah akal untuk menggali pemikiran yang benar. Begitu
pula, dalam filsafat yunani akal menjadi pusat pemikiran yang begitu bebas,
sementara dalam filsafat islam diberikan kelonggaran, meskipun terdapat
keketatan dalam penggunan rasio. Suatu
kebenaran yang tidak dapat ditolak adalah pengaruh peradaban Yunani, Persia,
dan India. Diantara ilmu-ilmu India yang besar pengaruhnya kepada intelektual
Islam adalah ilmu hitung, astronomi, ilmu kedokteran, dan matematika dengan
angka-angka yang oleh orang Arab disebut angka India dan oleh orang
Eropa kemudian dikenal dengan nama angka Arab. Sedangkan dari Persia terdapat
ilmu bumi, logika, filsafat, astronomi, ilmu ukur, kedokteran, sastra, dan
seni. Pengaruh terbesar yang diterima umat Islam dalam bidang ilmu dan
filsafat, menurut Ahmad Amin, adalah dari Yunani. Karena kontak umat Islam
dengan kebudayaan Yunani bersamaan waktunya dengan penulisan ilmu-ilmu Islam,
maka masuklah ke dalamnya unsur-unsur kebudayaan Yunani yang memberinya corak
tertentu, terutama dalam bentuk dan isi. Dalam bentuk, pengaruh logika Yunani
besar sekali, ilmu-ilmu Islam diberi warna baru, ditempa menurut pola Yunani
dan Disusun sesuai dengan sistem Yunani. Jadi, logika Yunani mempunyai pengaruh
yang sangat besar pada alam pikiran Islam di zaman Bani Abbas.
c.
Pandangan
Sejarah filsafat islam
Dalam
sejarah, pertemuan Islam (kaum muslimin) dengan filsafat, terjadi pada abad-abad ke-8 masehi atau abad
ke-2 Hijriah, pada saat Islam berhasil mengembangkan sayapnya dan menjangkau
daerah-daerah baru. Dalam abad pertengahan, filsafat dikuasai oleh umat Islam.
Buku-buku filsafat Yunani, diseleksi dan disadur seperlunya, serta
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Minat dan gairah mempelajari filsafat dan
ilmu pengetahuan waktu itu begitu tinggi karena pemerintahlah yang menjadi
pelopor serta pioner utamanya.
Dua
imperium besar pada masa itu, yakni Abbasiyah dengan ibu kotanya Bagdad (di
Timur), dan Umayyah dengan ibu kotanya Kordova (di Barat) menjadi pusat
peradaban dunia yang menghasilkan banyak orang bergelut dalam dunia
kefilsafatan. Untuk mengetahui sejarah perkembangan filsafat Islam, maka
kehadiran para filosof muslim dalam dunia kefilsafatan dari masa ke masa harus
ditelusuri. Dalam sejarah perkembangan filsafat Islam, filosof pertama yang
lahir dalam dunia Islam adalah al-Kindi (796-873 M). Ide-ide al-Kindi dalam filsafat
misalnya, filsafat dan agama tidak mungkin ada pertentangan. Cabang termulia
dari filsafat adalah ilmu tauhid atau teologi. Filsafat membahas kebenaran atau
hakekat. Kalau ada hakekat-hakekat mesti ada hakekat pertama yakni Tuhan. Ia
juga membicarakan tentang jiwa dan akal. Filosof besar kedua dalam sejarah
perkembangan filsafat Islam ialah al-Farabi(872-950 M). Dia banyak menulis buku-buku
tentang logika, etika, ilmu jiwa dan sebagainya. Ia menulis buku “Tentang
Persamaan Plato dan Aristoteles”, sebagai wujud keyakinan beliau bahwa filsafat
Aristoteles dan Plato dapat disatukan. Filsafatnya yang terkenal adalah
filsafat emanasi.
Selanjutnya,
filosof setelah al-Farabi adalah Ibnu Sina (980-1037 M). Nama Ibnu Sina
terkenal akibat dua karangan beliau yakni al-Qanun Fiy al-Tibb yang merupakan
sebuah Ensiklopedia tentang ilmu kedokteran yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin pada abad ke-12 M, dan menjadi buku pegangan di
universitas-universitas Eropa, dan al-Syifa al-Qanun yang merupakan
Einsiklopedia tentang filsafat Aistoteles dan ilmu pengetahuan. Di dunia Barat,
beliau dikenal dengan Avicenna (Spanyol Aven Sina) dan popularitasnya di dunia
Barat sebagai dokter melampau popularitasnya sebagai filosof, sehingga ia
diberi gelar dengan “the Prince of the Physicians”. Di dunia Islam sendiri, ia
diberi gelar al-Syaikh al-Ra’is atau pemimpin utama dari filosof-filosof. Filosof
selanjutnya adalah Ibnu Miskawaih (W. 1030 M). Beliau lebih dikenal dengan
filsafat akhlaknya yang tetuang dalam bukunya, Tahzib al-Akhlak. Menurutnya,
akhlak adalah sikap mental atau jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tanpa
pemikiran yang dibawa sejak lahir. Kemudian ia berpendapat bahwa jiwa tidak
berbentuk jasmani dan mempunyai bentuk tersendiri. Jiwa memiliki tiga daya yang
pembagiannya sama dengan pembagian al-Kindi. Kesempurnaan yang dicari oleh
manusia ialah kebajikan dalam bentuk ilmu pengetahuan dan tidak tunduk pada
hawa nafsu serta keberanian dan keadilan. Filosof berikutnya adalah al-Ghazali. Selain filosof, al-Gazali juga termasuk sufi.
Jalan yang ditempuh al-Ghazali diakhir masa hidupnya meninggalkan perasaan syak
yang sebelumnya mengganggu jiwanya. Keyakinan yang hilang dahulu ia peroleh
kembali.
Berdasar
dari uraian-uraian terdahulu, maka dapat dipahami bahwa perkembangan filsafat
Islam, pada mulanya terwariskan dari karangan-karangan filosof Yunani, kemudian
diterjemahkan kedalam bahasa Latin, dan berpengaruh bagi ahli-ahli fikir Eropa
sehingga ia diberi gelar penafsir (comentator), yaitu penafsir filsafat
Aristoteles. Perkembangan filsafat Islam, hidup dan memainkan peran signifikan
dalam kehidupan intelektual dunia Islam. Jamal al-Dīn al-Afgani, seorang murid Mazhab Mulla Shadra saat di
Persia, menghidupkan kembali kajian filsafat Islam di Mesir. Di Mesir, sebagian
tokoh agama dan intelektual terkemuka seperti Abd. al-Halim Mahmud, Syaikh
al-Azhar al-marhum, menjadi pengikutnya. Filsafat Islam di Persia, juga terus
berkembang dan memainkan peran yang sangat penting meskipun terdapat
pertentangan dari kelompok ulama Syi’ah. Tetapi patut dicatat bahwa Ayatullah
Khoemeni, juga mempelajari dan mengajarkan al-hikmah (filsafat Islam) selama
berpuluh puluh tahun di Qum, sebelum memasuki arena politik, dan juga Murtadha
Muthahhari, pemimpin pertama Dewan Revolusi Islam, setelah revolusi Iran 1979,
adalah seorang filosof terkemuka. Demikian pula di Irak, Muhammad Baqir
al-Shadr, pemimpin politik dan agama yang terkenal, adalah juga pakar filsafat
Islam.
d.
Sumber-Sumber
Filsafat Islam
Tradisi
Filsafat Yunani merupakan sumber awal kelahiran Filsafat-Filsafat lain,
termasuk juga Filsafat Islam. Akan tetapi, hubangan antara Filsafat Islam dan
Filsafat Yunani tidak terjadi secara langsung tanpa perantara. Kebudayaan
Hellenistik yang berkembang di Iskandariah adalah perantara itu. Seperti sudah
disebutkan dalam ringkasan sejarah kemunculan Filsafat Islam sebelumnya,
kerja-kerja penerjemahan terhadap karya-karya Filsafat Yunani yang di lakukan
umat Islam tidak mungkin terjadi tanpa adanya bantuan tidak langsung dari para
Filosof Iskandariah. Dengan kata lain, hubungan antara Filsafat Yunani dan
tradisi pemikiran Islam di dahului oleh kontak- budaya Islam dengan kebudayaan
Kristen Timur (mesir) yang sudah lebih dulu menyerap inti Filsafat
Yunani. Jika demikian adanya, maka apapun yang menjadi sumber dalam Filsafat
Yunani adalah juga sumber Filsafat Islam.
Filsafat
Islam tidak menolak keberadaan indera dan akal sebagai sumber pengetahuan
manusia. Dalam pembicaraan epistemologinya secara umum, indera dan pengalaman
inderawi di jadikan sebagai gerbang awal pengetahuan. Alat-alat indera
mengantarkan keseluruhan objek-objek terindera kepada alat kerja pengetahuan
yang lebih mempuni dalam penarikan kesimpulan yakni akal manusia. Tidak penting
untuk membicarakan kontroversi seputar definisi akal pada manusia jika
pembicaraan pengetahuan dikonsentrasikan pada mekanisme kerja pembentukan
pengetahuan berdasarkan data-data yang diterima oleh alat-alat indera, baik
indera bagian luar, maupun indera bagian dalam. Secara keseluruhan, para
Filosof dalam tradisi Islam tidak menolak aspek penting akal dalam Filsafat
Islam. Hanya saja, dalam kadar penggunaan kemampuan rasional, boleh jadi para
Filosof itu memang berbeda sesuai dengan karakter filsafat yang mereka usung. Selain
pengalaman inderawi dan penalaran logis, dalam tradisi Filsafat Islam,
keberadaan wahyu juga diterima sebagai sumber pengetahuan. Bahkan, pengetahuan
yang diperoleh melalui wahyu memiliki setatus istimewa, karna seorang penerima
pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi
yang sering diistilahkan dengan Nabi atau Rasul Tuhan. Tentu saja, pengetahuan
semodel ini berbeda dengan pengetahuan manusia biasa yang berporos pada indera
dan akal. Namun demikian, keberadaan wahyu sebagai pedoman iman harus
dipercayai secara taken for granted, dan para filosof muslim berusaha untuk
memahami wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji dan diletakkan dalam
tataran teoritis.
Ditinjau
dari kondisi historis dan normativ wahyu ilahi menempati posisi sentral dalam
pemikiran umat Islam. Wahyu dijadikan sebagai pedoman dan pegangan nilai yang
mengarahkan, membimbing, dan meletakkan dasar relasi antara manusia dengan
realitas transenden, wahyu juga dipandang sebagai media bagi proses komunikasi
ilahiyah antara manusia dengan yang “di Atas” manusia. Jika wahyu diterima
sebagai respon ilahiyah terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan, termasuk juga
terhadap pertanyaan-pertanyaan Filosofis manusia, maka wahyu turun salalu dalam
kondisi historitas tertentu. Thaha
Hussein pernah membagi wahyu kedalam dua dimensi: the first massagedi
satu sisi, dan the second massage di sisi lain. Klasifikasi
ini adalah penjelasan yang menekankan bahwa wahyu tidak berdiri sendiri dalam
mengatasi persoalan-persoalan kemanusiaan. Dengan kata lain, penalaran logis
menjadi hal yang tidak bisa dihindari dalam urusan menerjemahkan maksud-maksud
wahyu yang terkadang diturunkan lewat rumusan-rumusan bahasa metaforis.
Penalaran akal kemanusiaanlah yang kemudian menghubungkan wahyu dengan fakta
dan realitas historis kemanusiaan di bumi. Peristiwa Tahkim yang mengakhiri
perang saudara antara pasukan Ali dan Mu’awiyah di Siffin dapat dijadikan bukti
historis bahwa wahyu memang sangat terbuka utuk interpretasi kemanusiaan,
bahkan ketika interpretasi itu berpretensi untuk menyesatkan atau sekedar
melakukan pembangkangan metodis, Fenomena pewahyuan adalah persoalan yang
banyak menyita waktu dan pikiran para Filosof muslim. Naif untuk mengatakan
bahwa para Filosof muslim menolak pewahyuan dan Risalah kenabian,sebab jika
sejarah para Filosof muslim yang menolak dibuka kembali, maka hanya akan
dijumpai sedikit nama saja yang menolak pewahyuan. Fakta ini berbanding
terbalik dengan fakta historis dan cerita-cerita tentang para Filosof yang
justru memulai keberangkatan pemikiran Filsafat melalui pedoman wahyu, dan demi
kelangsungan tafsiran atas wahyu. Ketika menjelaskan persoalan wahyu, al-Farabi
mengatakan bahwa saat seorang Nabi menerima wahyu, setidaknya ada tiga jenis
intelek yang dilibatkan: pertama, intelek aktif sebagai entitas
yang bertindak sebagai perantara transenden antara Tuhan dan manusia. kedua,intelek
perolehan (al’aql al mustafad) yang dipeoleh Nabi hanya ketika jiwanya
bersatu dengan intelek aktif. Ketiga, intelek pasif (al aql
al manfail) yang merupakan kondisi intelek penerima wahyu. Penjelasan al
Farabi ini adalah bukti bahwa proses pewahyuan tidak untuk ditolak. Penjelasan
ini dirasionalisasikan untuk memudahkan dan menanamkan keyakinan
awam pada tendensi pewahyuan. Karena wahyu telah diterima sebagai sumber
pengetahuan dalam FilsafatIslam,maka mau tidak mau, Filsafat Islam
juga selalu bersinggungan dengan bidang-bidang keilmuan Islam lain. Hal ini
karna keseluruhan objek kajian dalam al dirasah al Islamiyah merupakan
interpretasi atas pedoman dasar agama Islam. Dalam pada itu, perbedaan tiap
bidang kajian bermula tidak saja dari pemilahan objek dan ruang lingkupnya,
tetapi juga bermula dari penentuan metode yang digunakan dalam menyikapi kitab
suci.
Islam
merupakan agama yang paling memuliakan teks suci. Dalam berbagai forum pidato,
penulisan buku dan pergaulan sehari-hari, umat Islam kerap menukil dan
menyartakan kutipan-kutipan teks suci. Teks suci telah dijadikan sebagai rujukan
legitimasi berbagai wacana Ilmiah dan politik. Hal ini membawa masalah baru
ketika batas antara interpretasi, manipulasi dan apresiasi atas teks suci tidak
jelas dan kabur. Jika dikaitkan dengan prihal seni seni, karna Islam menganut
paham Ikonoklasme radikal, maka yang paling menonjol adalah seni kaligrafi,
berbeda dari keyakinan Hindu dan Kristen yang justru menjadikan lukisan dan
patung sebagai medium ritual. Dalam menyikapi teks suci, keragaman cara pernah
muncul dan kesemuaannya membuktikan bahwa umat Islam menjadikan teks
sebagai turats yang dinamis. Teks diyakini sebagai sumber
inspirasi, resource dalam melakukan adaptasi dan adjustment.
Kebebasan dalam berpikir dan berkreasi telah melahirkan peradaban Islam yang
agresif dan ekspansif, digulirkan diatas teks suci sesuai dengan kepetingan
zaman dan diselenggarakan dalam upaya merealisasikan Islam yang relavan di tiap
zaman. Teks diyakini perlu untuk dibaca berulang-ulang untuk menemukan spirit
yang dikandungnya. Spirit yang terkandung dalam teks merupakan syarat untuk
merealisasikan Islam yang tidak interpretable ketika
dihadapkan dengan kebutuhan umat yang actual dan yang mungkin belum terjadi di
masa-masa terdahulu.
Jika
sumber dari sebuah tradisi adalah teks verbal yang dapat dibaca di wilayah kultural
yang berbeda dengan tanah asalnya, maka problem yang muncul dalam kasus
pembacaan teks di luar kultur aslinya adalah bagaimana menciptakan kembali teks
dan menyesuaikan dengan kultur pembaca. Penerjemahan dan penafsiran adalah dua
system yang selama ini diberlakukan dalam upaya penciptaan kembali teks. Dalam
system penerjemahan, suatu tradisi diciptakan kembali dengan cara yang harfiah
melalui penempatan teks sebagai inti dari tradisi. Sedangkan dalam system
penafsiran, tradisi diciptakan kembali dengan membaca semangat dan nilai-nilai
yang dikandung teks dalam situasi yang baru dan melalui artikulasi simbolis
yang juga baru. Unsur kreasi dalam system penafsiran sedikit lebih menonjol
dari pada penerjemahan. Hal ini dimungkinkan karena dalam system penafsiran,
tradisi dan masa lalu tidak dipandang sebagai sesuatu yang paripurna dan telah
diseleseikan. Sampai titik ini, jelas bahwa Filsafat Islam yang menerima
keberadaan wahyu sebagai dasar pengetahuan yang dituntut berinteraksi dengan
teks suci agama Islam dengan melakukan pembacaan yang berulang demi melahirkan
pemikiran yang brilian sebagai jawaban atas tiap pertanyaan filosofis.
BAB III
KAJIAN FILSAFAT ILMU
A.
Ontologi Ilmu
Ontologi.
Objek yang menjadi kajian dalam ontologi tersebut adalah realitas yang ada. Dan
dalam ontologi adalah studi tentang yang ada yang universal, dengan mencari
pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam
setiap kenyataan atau menjelaskan yang ada dalam setiap bentuknya.dalam
ontologi merupakan studi yang terdalam dari setiap hakekat kenyataan, seperti
dapatkah manusia sungguh-sungguh memilih, apakah ada Tuhan, apakah nyata dalam
hakekat material ataukah spiritual, apak jiwa sungguh dapat dibedakan dengan
badan.
B.
Epistemologi
Ilmu
Epistemologi.
Epistemologi studi tentang asal usul hakekat dan jangkauan pengetahuan. Apakah
pengalaman merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Apakah yang menyebabkan
suatu keyakinan benar dan yang lain salah. Adakah soal-soal penting yang tidak
dapat dijawab dengan sains dan dapatkah kita mengetahui pikiran dan perasaan
orang lain. Pengkajian dari epistemologi adalah hakekat pengetahuan yang
terdiri empat pokok persoalan pengetahuan seperti keabsahan, struktur, batas
dan sumber.
C.
Aksiologi Ilmu
Aksiologi dan Estetika.
Aksiologi atau etika studi tentang prinsip-prinsip dan konsep yang mendasari
penilaian terhadap prilaku manusia. Contohnya tindakan yang membedakan benar
atau salah menurut moral, apakah kesenangan merupakan ukuran dapat dikatakan
sebagai ukuran yang baik, apakah putusan moral bertindak sewenang-wenang atau
bertindak sekehendak hati. Sedangkan estetika studi yang mendasarkan prinsip
yang mendasari penilaian kita atas berbagai bentuk seni. Apakah tujuan seni,
apa peranan rasa dalam pertimbangan estetis, bagaimana kita mengenal sebuah
karya besar seni.
D.
Ilmu-ilmu
Keislaman
a.
Ontologi
Filsafat Islam
Ontologi
terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti
sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi Ontologi
dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud yang ada. Dengan kata
lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang
berwujud (yang ada) dengan berdasar dengan logika.[2]Ontologi atau disebut juga dengan istilah
metafisika, mempersoalkan adanya sesuatu yang ada. Ontologi, secara
sederhana dapat dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau
kenyataan konkret secara kritis. Hakikat kenyataan atau realitas dapat dilihat
dengan dua macam sudut pandang. Yang pertama, kauntitatif dan kualitatif.[3]Konsep tentang wujud adalah sulit didefinisikan
dengan tepat mengingat wujud sudah ada terlebih dahulu sebelum konsep tentang
segalanya muncul.
b.
Epistimologi
Filsafat Islam
Epistemologi
berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang
berarti ilmu yang membahas tentang pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber
pengetahuan. Dengan kata lain epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang
menyoroti atau membahas tentang tata-cara, teknik atau prosedur, mendapat ilmu
dan keilmuan. Filsafat dan agama
sebagai dua kekuatan yang mewarnai dunia telah menawarkan
konstruksi epistemologi yang berbeda dalam menjawab permasalahan. Sejak zaman
yunani kuno filsafat telah berkembang sebagai suatu bentuk kreativitas manusia
dalam berpikir dengan menggunakan kekuatan daya nalarnya.
Islam
sebagai agama yang diturunkan untuk menjawab seluruh pertanyaan dan
menyelesaikan seluruh permasalahan hidup manusia tentu mempunyai jawaban
tersendiri mengenai permasalahn epistemologi. Jawaban atas permasalahn tersebut
bersumber dari wahyu Allah yang termaktub dalam Al Qur’an. Ayat-ayat Al Qur’an
yang memberikan jawaban universal terhadap persoalan kemanusiaan, persoalan
epistimologi diinterpretasikan dengan pendekatan logis oleh para pemikir muslim
yang akhirnya merumuskan filsafat islam.
Epistemologi
adalah cabang filsafat yang membahas hakikat ilmu pengetahuan manusia,
khususnya pada empat masalah, yaitu:
1. Sumber- sumber ilmu pengetahuan
2. Alat pencapai ilmupengetahuan
3. Metode pencapaian pengetahuan
4. Batasan pengetahuan atau klasifikasi
pengetahuan
Selain
dianggap sebagai cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan manusia.
Epistemologi juga sering diidentikan dengan asumsi-asumsi teoritis yang
mendasari suatu pendapat ataupun bangunan pengetahuan manusia. Mengenai alat
pencapai ilmu pengetahuan, secara umum para pemikir Islam sepakat bahwa ada
tiga alat epistemologi yang dimiliki oleh manusia dalam mencapai ilmu
pengetahuan, yaitu indra, akal dan hati. Ketiga epistemologi ini kemudian
menghasilkan tiga metode dalam pencapaian pengetahuan, yaitu:
1.
Metode observasi sebagaimana yang dikenal dalam
epistemologi barat atau disebut juga metode bayani yang menggunakan
indra sebagaimana pirantinya.
2.
Metode deduksi logis atau demonstratif atau
disebut juga metode burhani dengan menggunakan akal.
3.
Metode intuitif atau irfani dengan
menggunakan hati.
Metode
observasi ditujukan untuk melakukan pengkajian terhadap objek-objek yang
bersifat inderawi dan menghasilkan pengetahuan sains, dalam istilah Muhammad
Baqir Shadr metode ini disebut pula dengan metode disposesi. Adapun metode
demonstratif ditujukan untuk memahami realitas-realitas imajinal manusia dan
melahirkan ilmu-ilmu murni berupa logika, matematika dan filsafat. Selanjutnya
metode intuitif digunakan untuk memahami secara langsung realitas yang bersifat
metafisis yang bersifat hudhuri dalam jiwa manusia dan
menghasilkan pengetahuan mistik.
c.
Aksiologi
Filsafat Islam
Aksiologi
adalah cabang dari filsafat yang membicarakan tentang orientasi dapat menjadi
sarana orientasi manusia dalam usaha menjawab suatu pertanyaan yang amat
fundamental. Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika
dan estetika. Etika berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti
karakter, watak kesusilaanatau adat kebiasaan di mana etika berhubungan erat
dengan konsep individu atau kelompoksebagai alat penilai kebenaran atau
evaluasi terhadap sesuatu yang telah dilakukan. Etikaadalah cabang filsafat
yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral.Kajian etika
lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Estetika adalah
cabang ilmu yang membahas masalah keindahan. Bagaimana keindahan bisa tercipta
dan bagaimana orang bisa merasakannya dan memberi penilaian terhadap keindahan
tersebut. Secara etimologi, estetika diambil dari bahasa Yunani, aisthetike
yang berarti segala sesuatu yang dapat dicerna oleh indra. Estetika membahas
refleksi kritis yang dirasakan oleh indera dan memberi penilaian terhadap
sesuatu, indah atau tidak indah, beauty or ugly. Estetika disebut juga dengan
istilah filsafat keindahan. Estetika merupakan bidang studi manusia yang
mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam
diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan
harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh
BAB IV
ALIRAN DALAM FILSAFAT
A. Rasionalisme
Rasionalisme
merupakan aliran filsafat yang sangat mementingkan rasio, didalam rasio
terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun sutau ilmu pengetahuan
tanpa harus menghiraukan realitas diluar rasio
B. Empirisme
Pada
aliaran ini berpendapat bahwa pada bidang pengetahuan berasal dari pengalaman
sehingga pengenalan inderawi yang merupakan yang paling jelas dan sempurna.
C. Idealisme
Aliran
filsafat yang menganggap bahwa realitas ini terdiri dari ide-ide
pikiran-pikiran akal atau jiwa dan bukan benda material dan kekuatan.
D. Materialisme
Materialisme
merupakan aliran yang menganggap bahwa didunia ini tidak ada selain materi atau
nature ( alam ) dan dunia fisik adalah satu. Faham materialisme ini tidak
memerlukan dalil-dalil yang muluk-muluk dan abstrak juga teorinya jelas
berpegang pada kenyataan-kenyataan yang jelas dan mudah dapat dimnegerti.
E. Utilitarianisme
Aliran
Utilitarianisme adalah
aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Adapun ukuran
kemanfaatan hukum yaitu kebahagian yang sebesar-besarnya bagi orang-orang.
F.
Vitalisme
Vitalisme
adalah paham atau aliran dalam filsafat manusia yang beranggapan bahwa
kenyataan sejati pada dasarnya adalah energi, daya, kekuatan, atau nafsu yang
bersifat iirasional atau tidak rasional.
G. Fenomenologi
Fenomenologi adalah cara untuk memahami
hal ekspresi manusiawi terhadap latar belakang hubungan yang fundamental.
Sebagai suatu usaha pemikiran, fenomenologi mencoba memahami manusia dalam
kerangka filsafat antropologi.
H.
Pragmatisme
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan
dirinya sebagai yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya
yang bermanfaat secara praktis.
I. Hermeneutika
Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Nama hermeneutika
diambil dari kata kerja dalam bahasa yunani hermeneuienyang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau
menerjemahkan.
Referensi
Biyanto. Filsafat
Ilmu Dan Ilmu Keislaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar